Pages

SISTEM MUDHARABAH (INVESTASI) DAN HUKUM-HUKUMNYA

SISTEM MUDHARABAH (INVESTASI) DAN HUKUM-HUKUMNYA

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Definisi Mudharabah

Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini meli-batkan dua pihak: pihak yang memiliki modal namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.

Disyariatkannya Penanaman Modal

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma" ulama yang membolehkannya.

Diriwayatkan dalam al-Muwaththa" dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan, "Abdullah dan Ubaidullah bin Umar bin Al-Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al-Asy"ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata, "Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan." Kemudian beliau me-lanjutkan, "Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Saya me-minjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil." Mereka berkata, "Kami suka itu." Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab agar Amirul Mukminin itu meng-ambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keun-tungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya, "Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau berkata, "Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keun-tungannya." Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Semen-tara Ubaidullah langsung angkat bicara, "Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab." Umar tetap berkata, "Berikan uang itu semuanya." Abdullah tetap diam, sementara Ubaidullah tetap membantah. Tiba-tiba salah se-orang di antara sahabat Umar berkata, "Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?" Umar menjawab, "Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal." Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, se-mentara Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah keuntungan sisanya."

Diriwayatkan juga dari al-Alla bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya uang sebagai modal usaha, dan keuntungannya dibagi dua.

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan perjanjian usaha semacam itu hingga jaman sekarang ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan secara turun temurun hingga jaman Nabi, beliau mengetahui dan membiarkannya.

Satu hal yang logis, bila pengembangan modal dan pening-katan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan melalui pemu-taran atau perdagangan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berjual-beli. Dan tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu bisnis penanaman modal ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan keduabelah pihak.

Rukun-rukun Bisnis Investasi

Seperti bentuk usaha yang lain, bisnis penanaman modal ini juga memiliki tiga rukun: Dua atau lebih pelaku, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Pertama: Dua atau Lebih Pelaku.

Kedua pihak di sini adalah investor dan pengelola modal. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas. Yakni orang yang tidak dalam kondisi bangkrut terlilit hutang. Orang yang bangkrut terlilit hutang, orang yang masih kecil, orang gila, orang ediot, semuanya tidak boleh melaksanakan transaksi ini. Dan bukan merupakan syarat bahwa salah satu pihak atau kedua pihak harus seorang muslim. Boleh saja bekerja sama dalam bisnis penanaman modal ini dengan orang-orang kafir Ahlu Dzimmah (orang kafir yang dilindungi, pent.) atau orang-orang Yahudi dan Nashrani yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti ada-nya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga aktivitas tersebut terbebas dari riba dan berbagai bentuk jual beli yang berdasarkan riba.

Kedua: Objek transaksi.

Objek transaksi dalam penanaman modal ini tidak lain adalah modal, usaha dan keuntungan.

1. Modal

Dalam soal modal ini disyaratkan harus merupakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang secara umum. Penanaman modal ini tidak boleh dilakukan dengan menggunakan barang, kecuali bila disepakati untuk menetapkan nilai harganya dengan uang. Sehingga nilainya itulah yang menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha. Dengan dasar itulah hitung-hitungannya dianggap selesai untuk masa kemudian.

Alasan dilarangnya sistem penanaman modal dengan meng-gunakan barang komoditi tersebut karena konsekuensi ketidakje-lasan keuntungan saat pembagian. Karena harga barang itu diketahui dengan perkiraan dan rekaan saja, dan itupun bisa ber-beda-beda dengan perbedaan alat tukar yang digunakan. Ketidak-jelasan itulah yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan dan pertikaian. Karena ketika ia mengambil barang, harganya sekian. Dan ketika ia mengembalikannya, harganya sudah berbeda pula. Hal itupun berimbas pada ketidakjelasan keuntungan dan modal.

Boleh saja melakukan penanaman modal dengan hutang yang ada di tangan orang lain, selama orang itu bukan orang yang kesulitan membayarnya, berdasarkan pendapat yang benar dari para ulama.

Dan dibolehkan juga melakukan penanaman modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang yang dititipkan tersebut sudah dibelanjakan dan berubah menjadi hutang dalam tanggungan yang dititipi, karena pada saat itu ia berubah menjadi penanaman modal dengan hutang. Itu sudah dibahas dalam pem-bahasan sebelum ini, dibolehkan kalau pihak yang berhutang mam-pu membayarnya, namun kalau ia orang yang kesulitan, tidak dibolehkan.

Penambahan atau Penarikan Modal

Investor boleh-boleh saja menambahkan dana segar ke dalam modal yang ditanamkan, dengan syarat ia harus meneliti dahulu modal yang digerakkan oleh pengelola secara nyata dalam bentuk jual beli, dengan menghitung modal baru itu sebagai kesatuan tersendiri, dengan segala konsekuensi untung ruginya.

Dengan dasar ini, tidak ada salahnya memberi tambahan dana segar bila modal pertama belum dioperasikan, seperti halnya bila ia memberikan modal sekian juta secara langsung. Dan boleh juga diberikan setelah modal pertama dioperasikan, kalau modal itu telah kembali menjadi uang kontan sebagaimana adanya tanpa bertambah dan tidak juga berkurang. Bentuk ini sama dengan sebelumnya. Atau modal itu sudah mengalami penambahan atau pengurangan dan sudah diselesaikan hitung-hitungannya. Masing-masing sudah mendapatkan kembali haknya, untung ataupun rugi. Lalu keduanya menjalankan jual beli dengan sistem pena-naman modal baru. Pada saat itu, ia boleh menambahkan modal yang sudah ada sesuka hati.

Namun kalau ia memberikan modal baru setelah dioperasi-kannya modal pertama dengan jual beli, lalu disyaratkan untuk dicampurkan dengan modal pertama, itu tidak sah. Karena konsekuensi terjadinya penambalan kerugian yang satu dengan keuntungan yang lain.

Seorang investor boleh saja menarik sebagian modalnya kembali yang dia tanamkan dan membatalkan kerja sama penana-man modal pada modal yang telah diambilnya. Kemudian kalau itu dilakukan sebelum jelasnya keuntungan dan kerugian usaha, maka bagian yang diambil itu hanya bagian dari modal saja.

Namun kalau itu dilakukan setelah jelas keuntungannya, maka bagian yang diambil itu dianggap sebagai keuntungan seka-ligus modal yang diambil dari total keuntungan dan modal yang ada. Hak dari pengelola tetap diambil dari keuntungan yang sudah disisihkan. Usaha pengelola modal tidak akan mengubah status modal yang telah terkurangi dan keuntungan yang didapat-nya tidak terpengaruh oleh kerugian yang terjadi selanjutnya.

Dan apabila penarikan modal itu dilakukan setelah terlihat kerugian, kerugian itu dibagi-bagikan pada modal yang diambil dan pada modal yang tersisa. Dan kerugian pada bagian yang telah diambil tidak bisa ditutupi, meskipun setelah itu memper-oleh keuntungan.

2. Usaha

Asal dari usaha dalam penanaman modal adalah di bidang perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Di antara yang tidak termasuk perniagaan adalah bila pengelola modal mencari keuntungan melalui bidang perindustrian. Bidang perindustrian tidak bisa dijadikan lahan penanaman modal, karena itu adalah usaha berkarakter tertentu yang bisa disewakan. Kalau seseorang menanamkan modal untuk usaha itu, maka penanaman modal itu tidak sah, seperti menanamkan modal pada usaha pemintalan benang yang kemudian ditenun dan dijual hasilnya. Atau untuk usaha penumbukan gandum, lalu setelah menjadi tepung diadoni dan dijual. Demikian seterusnya. Hanya saja kalangan Ham-baliyah berpandangan bahwa penanaman modal semacam itu dibolehkan, yakni dengan cara menyerahkan alat-alat perindus-trian ke sebuah perusahaan industri dengan imbalan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal itu dikiyaskan dengan musaqat dan muzara"ah. Mereka yang membolehkan beralasan bahwa alat itu adalah materi yang dikembangkan melalui usaha, sehingga sah diikat dengan perjanjian usaha dengan imbalan sebagian keun-tungan perusahaan. Seperti modal pohon dalam musaqat dan modal tanah dalam muzara"ah.

Pengelola modal tidak boleh bekerjasama dalam penjualan barang-barang haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, minuman keras, dan jual beli riba atau yang sejenisnya.

Investasi dengan Kriteria Tertentu.

Usaha dengan sistem penanaman modal terkadang bersifat bebas, terkadang memiliki kriteria tertentu. Usaha dengan sistem penanaman modal bebas adalah dengan cara menyerahkan uang kepada pengelola tanpa menentukan jenis, bentuk, tempat dan waktu usaha, juga tanpa menentukan mitra usaha yang diajak bekerjasama.

Adapun penanaman modal dengan kriteria tertentu adalah dengan menentukan salah satu dari faktor tersebut di atas. Pada asalnya, setiap kriteria tertentu bisa disahkan, selama memang bermanfaat sebagaimana yang diriwayatkan bahwa al-Abbas pernah memberikan persyaratan kepada orang yang mengelola dana yang beliau tanamkan: agar tidak boleh dibawa berlayar di lautan, tidak boleh dibawa melewati lembah, tidak untuk dibe-likan benda hidup. Namun kalau kriteria itu tidak berguna, dianggap batal dan dianggap tidak ada.

Parameter untuk menentukan apakah kriteria itu bermanfaat atau tidak adalah hukum kebiasaan. Dan tidak bisa dihalangi bahwa bisa saja terjadi perubahan fatwa dalam persoalan itu ka-rena perubahan jaman dan tempat, selaras dengan perubahan kebiasaan yang ada.

Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Tidak ada salahnya membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat ulama yang paling benar, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, dikiyaskan dengan sistem penjaminan pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.

Mempekerjakan Orang Untuk Melakukan Investasi

Boleh-boleh saja seorang pengelola menyewa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak harus dikerjakannya sendiri dari usaha itu, seperti menawarkan barang dagangan, memindahkan-nya ke gudang penyimpanan dan sejenisnya. Pembatasan per-soalan ini hanya dikembalikan kepada kebiasaan. Namun selain itu, hendaknya pengelola modal mengurusnya sendiri tanpa menerima bayaran tersendiri.

Pihak pengelola juga bisa menjual barangnya dengan sistem pembayaran tertunda, atau membawa modalnya melakukan per-jalanan dengan hukum dasar transaksi mutak lagi dibatasi dengan kebiasaan dan kemaslahatan saja. Karena kebiasaan dunia niaga dan kepentingan usaha dengan penanaman modal itu meng-haruskan adanya sistem yang lentur dalam persoalan ini.

Melakukan Usaha Berantai dengan Penanaman Modal

Pengelola modal, bila diizinkan oleh pemilik modal atau diserahkan untuk mengurus modal itu dengan pemikirannya sendiri, boleh saja ia menamkan modal itu kembali kepada orang lain. Kalau ia juga ikut andil dalam pengelolaannya, ia juga men-dapatkan bagian keuntungan. Tetapi kalau ia tidak ikut andil dalam usaha, bahkan melepaskan diri dari usaha penanaman modal itu dengan menjadikan dirinya sebagai perantara saja, maka ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, kecuali kalau ada kesepakatan bahwa ia mendapatkan upah dengan jumlah tertentu sebagai perantara.

Dan dalam kondisi ia ikut andil dalam usaha dan keun-tungan, apakah diserahkan kepada pemilik modal apa yang telah ia syaratkan berupa keuntungan ia mendapatkan keuntungan dari seluruh modal, atau dari bagian dia sebagai pengelola modal per-tama? Ukurannya adalah kesepakatan yang tegas, atau dikem-balikan kepada lafal yang diucapkan dalam perjanjian antara pemilik dengan pengelola modal. Kalau pemilik modal menga-takan, "Ini modal untuk Anda kelola, keuntungannya nanti bila diberikan oleh Allah, akan dibagi dua di antara kita." Maka pe-ngelola modal kedua bisa mengambil ketetapan serupa, yakni pembagian keuntungan antara dia dengan pengelola pertama. Baru sisanya, dibagikan antara pengelola pertama dengan inves-tor. Namun kalau investor mengatakan, "Keuntungan yang Anda peroleh sebagai rezeki dari Allah, harus dibagikan di antara kita dengan prosentase sekian." Maka pengelola pertama harus me-nyerahkan keuntungan kepada investor kedua dan pemilik modal dari seluruh modal yang ada. Kalau ada yang tersisa setelah diam-bil prosentase keuntungan mereka, baru pengelola pertama bisa mengambil keuntungan. Kalau tidak ada, ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.

Syirkah dengan Penanaman Modal

Pengelola modal yang telah diberi kekuasaan penuh mengelola modal seseorang, bisa saja mengajak orang lain untuk ber-syirkah dengannya dengan modal tadi, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Ia juga boleh mencampurkan modal itu dengan harta pribadinya, kalau secara kebiasaan dibenarkan. Karena banyak di antara mereka yang mengelola modal yang ditanamkan orang lain, yang sebelumnya ia telah melakukan usaha dengan modalnya sendiri di dunia perniagaan. Yang jelas asal pemilik modal mengetahui hal itu dan mengizinkannya. Lain halnya kalau investor justru menunjukkan sikap sebaliknya.

Berhutang Setelah Menerima Investasi Modal

Seorang pengelola modal tidak berhak membeli barang lebih banyak dari modal untuk investasi itu, karena itu berarti ia menambah tanggungjawab pemilik modal tanpa keridhaannya. Kalau itu ia lakukan juga, dan pembelian itu telah dilakukan, maka ia menjadi mitra investor dengan modal tambahan yang harus dia tanggung itu. Namun investasi semula dari investor tidaklah mengalami penambahan.

Pengelola Ganda

Seorang pengelola modal boleh saja menerima investasi tambahan dari investor lain, selama itu tidak mengganggu usaha pengelolaan dana yang dia lakukan terhadap dana investor pertama, dan juga tidak membahayakan investor pertama. Berba-gai Lembaga Keuangan Islam bersandar pada sistem ini pada berbagai pengembangan modal modern yang mereka geluti.

3. Hukum-hukum Keuntungan

a. Syarat-syarat Keuntungan

Keuntungan dalam sistem penanaman modal ini diper-syaratkan sebagai berikut:

* Hendaknya diketahui secara jelas. Hendaknya dalam tran-saksi ditegaskan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal.

* Keuntungan itu juga dibagikan dengan prosentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungan yang demikian tanggung sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem investasi. Dan yang lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat prosentase tertentu dari mo-dalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini. Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui sistem penanaman modal ini dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, "Banyak kalangan ulama yang kami kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap batal kalau salah seorang di antara kedua belah pihak atau kedua-duanya menetapkan prosentase tertentu dirinya untuk tidak diputar dalam usaha."

b. Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan

Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keun-tungan dalam usaha berbasis penanaman modal ini yang kami ringkaskan sebagai berikut:

* Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal saja. Pembagian keuntungan itu antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman modal itu adalah berdasarkan kesepakatan mereka berdua. Namun hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memilik kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.

* Keuntungan Dijadikan Sebagai Cadangan Modal, artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada. Karena keun-tungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keun-tungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu de-ngan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.

* Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjan-jian. Oleh sebab itu tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini.

Alasan tidak dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:

o Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.

o Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.

* Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.

Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjan-jian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:

* Pertama: Perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan me-nyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

* Kedua: Perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

Boleh saja melakukan pembagian awal keuntungan sebelum dipisahkan tanpa merusak keberadaan keuntungan itu sebagai cadangan modal.

Meskipun hak kepemilikan terhadap keuntungan kedua belah pihak hanya bisa dipermanenkan melalui perhitungan akhir seperti telah dijelaskan sebelumnya, tetapi bisa saja mereka saling menyepakati pembagian keuntungan awal yang tetap akan tunduk kepada hasil perhitungan akhir nanti. Yakni kalau terjadi kerugian setelah itu, harus ditutupi dengan keuntungan yang telah dibagikan. Kalangan Ahli Fiqih Hanafiyah dan Hamba-liyah membolehkan cara itu.

Dana Operasional Pengelola

Pengelola bisa mengambil dana operasional untuk dirinya dari modal usaha bila ia dalam perjalanan, sesuai dengan kebiasaan dunia dagang. Yakni kalau pengelola melakukan satu perjalanan untuk keperluan usaha bersama itu, ia boleh meng-gunakan dana usaha untuk semua keperluannya selama ia dalam perjalanan dan selama ia tinggal di daerah orang hingga kembali ke daerahnya. Adapun bila ia bermukin di daerah atau kotanya sendiri, ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari dana usaha tersebut. Karena tinggalnya ia di negerinya, bukanlah untuk tujuan mencari keuntungan, karena sebelumnya ia juga tinggal di daerahnya tersebut. Pembedaan antara saat bepergian dengan saat tinggal di kampung halaman adalah pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah.

Tanggungjawab Pengelola Terhadap Modal Investasi

Tidak ada tanggungjawab bagi pengelola terhadap modal usaha kecuali karena keteledoran atau pelanggaran, sama dengan tanggungjawab orang-orang yang diamanahi sesuatu. Sama sekali tidak bisa digunakan segala bentuk trik manipulatif untuk meng-gugurkan hukum ini. Karena merusak kode etik ini dapat meng-giring usaha ini kepada bentuk jual beli berasas riba.

Kalau pemilik modal menetapkan syarat bagi pengelola modalnya untuk bertanggung jawab terhadap modal yang dike-lolanya, atau pengurangan keuntungan, maka syarat tersebut adalah batil. Akan tetapi apakah kerusakan itu akan terus membias kepa-da dasar perjanjian? Masih ada perbedaan pendapat Ahli Fiqih. Kemungkinan pendapat yang benar adalah bahwa perjanjian tetap sah, meski syaratnya rusak. Artinya, syarat itu tidak berlaku, tetapi perjanjian itu tetap berjalan. Para ulama Hanafiyah telah menegaskan hal itu, demikian juga kalangan Hambaliyah.

Berakhirnya Usaha Berbasis Isvestasi

Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena keharusan itu bukan bagian konsekuensi perjanjian usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan perjanjian kapan saja dia menghendaki. Hanya saja perjanjian ini wajib dilaksanakan bila sudah dimulai usahanya, menurut yang paling benar dari dua pendapat ulama yang ada. Artinya, kalau penge-lola telah memulai usahanya, berarti penanaman modal itu wajib terus berlangsung dan pemilik modal tidak bisa mengambil modalnya kembali, yakni sampai modal itu kembali menjadi uang kontan, yakni sebagaimana sebelumnya. Modal itu tidak bisa ditarik ketika usaha sedang berjalan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya yang timbul karena pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba, padahal usaha sedang berjalan. Pendapat ini diambil oleh kalangan Malikiyah.

Perjanjian usaha investatif ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak pelaku perjanjian, atau karena ia gila atau idiot. Kecuali kalau itu terjadi setelah usaha berlangsung, kalau mengacu kepada pendapat Malikiyah yang menyatakan bahwa perjanjian berjalan dengan berjalannya usaha, maka perjan-jian itu tidak berhenti. Ahli warisnya atau walinya bisa melanjutkan perjanjian tersebut sesuai dengan kesepakatan terhadap pendahu-lunya atau orang yang memberi kuasa kepadanya sebelumnya.

Cara Memfungsikan Usaha Berbasis Investasi dalam Dunia Perbankan

Perbankan Islam modern telah memanfaatkan jasa bentuk usaha ini dan menjadikannya sebagai pendongkrak kemajuan ber-bagai proyek pengembangan modal dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Telah kita paparkan sebelumnya, bahwa mudharabah atau usaha investasif ini dilakukan dengan adanya dua pihak yang terlibat: pertama pihak yang memiliki modal dan kedua pihak yang melakukan usaha. Pihak pertama disebut investor dan pihak kedua disebut pengelola modal.

Ini adalah realita yang jelas dalam berbagai bentuk aplikasi usaha berbasis penanaman modal ini: baik yang bersifat umum atau yang memiliki kriteria tertentu, baik yang bersifat modal lama atau yang modern, dan baik yang melibatkan dua pihak, atau kerja sama kolektif.

Kalau rumus ini kita terapkan dalam lingkaran berbagai aktivitas perbankan, kita harus mengenali terlebih dahulu karak-ter pemilik modal dan pengelolanya sehingga kita bisa mengenal seluruh pihak terkait dengan perjanjian pengelolaan modal ter-sebut. Itu baru awal dari sebuah perjalanan.

Tidak syak bahwa orang-orang yang memiliki titipan dan simpanan di berbagai bank adalah pihak yang menjalankan pe-ranan pemilik modal dalam konteks ini.

Sementara pengelola modalnya teraplikasikan pada pihak bank yang menerima berbagai dana titipan dan simpanan tersebut untuk disalurkan ke berbagai usaha pengembangan modal yang bermacam-macam. Setelah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian yang lazim terhadap setiap proyek pengelolaan dana yang akan digeluti. Kemudian bekerja keras siang malam meng-urus dan memonitor perkembangan usaha tersebut hingga sampai pada perhitungan akhir. Pihak bank memainkan peranan sebagai manager dalam pengelolaan dan pengembangan modal untuk disalurkan ke berbagai lokasi pengembangan modal.

Kalau pihak bank mau menambahkan modal itu dengan dana bank pribadi bank tersebut pada modal simpanan dan titipan yang ada padanya, lalu seluruh modal yang terkumpul diserah-kan pada berbagai proyek pengembangan modal yang bermacam-macam bentuknya, sebagai pengelola modal sekaligus mitra bisnis. Sebagai pengelola modal bagi dana orang lain dan sebagai mitra bisnis dengan modal yang dimilikinya sendiri sebagai modal usaha. Dalam pembahasan tentang usaha berbasis investasi, penulis memilih bahwa aplikasi usaha semacam ini adalah boleh.

Adapun berhubungan dengan sejumlah orang pengembang modal yang mendatangi pihak bank mengajukan proposal untuk pendanaan proyek-proyek mereka, atau untuk bekerjasama de-ngan mereka dalam proyek-proyek tersebut. Sesungguhnya birokrasi mereka dengan pihak pihak bank berbeda-beda, tergan-tung dengan bentuk pengembangan modal yang ditawarkan kepada mereka.

Terkadang peran mereka hanya sebatas sebagai partner modal dalam sebuah usaha investasif, yakni apabila pihak bank membiayai semua kebutuhan usaha secara lengkap, sehingga me-reka hanya melakukan tugas usaha dan administrasinya saja. Pada saat itu, pihak bank menjadi pemilik modal dari usaha mereka.

Terkadang mereka menggabungkan tugas sebagai pemilik sekaligus pengelola modal, kalau pihak bank hanya menyediakan sebagian modal yang dibutuhkan oleh proyek. Dengan modal yang mereka miliki, mereka menjadi mitra pihak bank. Dan dengan usaha yang mereka lakukan, mereka menjadi pengelola modal.

Terkadang mereka juga bisa berfungsi hanya sebagai pekerja bayaran atau pegawai, kalau kita misalkan pihak bank-lah yang bekerja mendirikan proyek tertentu dan mengikat perjanjian dengan mereka gaji yang ditentukan.

Bisa juga mereka tampil hanya sebagai peminjam uang, kalau karena satu hal atau karena alasan tertentu pihak bank tidak bisa memberikan pinjaman lunak (tak berbunga). Hal itu tentu saja sesuai dengan sistem managerial bank tersebut.

Terkadang di antara mereka ada yang hanya menjadi semacam pembeli. Misalnya pihak bank menjual semacam barang dengan penjualan langsung atau dengan sistem pembayaran ter-tunda, dalam arti pihak bank memberikan penjualan kepada mereka dengan bentuk barang untuk dibayar secara tertunda.

Dengan demikian, model hubungan pihak bank dilihat dari kedudukan bank sebagai investor menghadapi para pengelola modal, berbeda-beda sesuai dengan karakter usaha yang mengi-kat kedua belah pihak. Terkadang dalam bentuk usaha berbasis investasi, atau syirkah, jual beli saling menguntungkan atau dengan pembayaran tertunda, serta berbagai bentuk hubungan lainnya. Adapun hubungan bank dengan para nasabah yang me-nitipkan uang kepada mereka adalah atas dasar perjanjian usaha berbasis investasi dari mereka. Itulah yang menjadi bentuk usaha dasar dalam dunia pengembangan modal perbankan. Sementara birokrasi hubungan pihak bank sendiri dengan kalangan penge-lola modal tergantung pada situasi dan kondisi.

Sebagian peneliti hukum lebih cenderung menganggap hu-bungan pihak bank dengan para nasabah yang menitipkan modal kepada mereka berdasarkan penjaminan, dalam arti bahwa pihak bank mewakili para nasabahnya dalam perekrutan dana, pengum-pulan dan pencarian lubang-lubang bisnis pengembangan modal yang sesuai untuk menginvestasikan dana-dana tersebut. Baru kemudian pihak bank yang memonitor dan mengkalkulasikan segalanya, sebagai ganti dari sistem upah tetap dengan jumlah tertentu.

Sebenarnya, hubungan semacam itu tampak lebih relevan dengan dunia jasa perbankan yang hanya sebatas penyediaan fasilitas dengan upah tertentu. Adapun dalam bidang pengem-bangan modal, sepantasnya bagi pihak bank dan pihak penitip modal untuk menyempurnakan kerja sama di antara mereka di atas dasar usaha investatif. Karena pekerja itu harus diberikan gaji secara tetap. Hal itu tentu saja melipatgandakan dorongan untuk melakukan berbagai kreasi baru. Lain halnya dengan mitra usaha atau pengelola modal yang berpandangan bahwa kepentingannya dengan kepentingan pemilik modal itu tidak dapat dipisahkan, bahwasanya tidak ada jalan memperoleh keuntungan dan hasil selain dengan menjalankan proyek dan merealisasikan semua targetnya. Kalau tidak, usahanya akan gagal. Dalam hal ini tidak perlu dikorbankan ruh keikhlasan dan tidak perlu membuang percuma segala potensi dan kreasi yang dimiliki.

Kesimpulannya, hendaknya pihak bank yang melakukan usaha investasif berperan sebagai pengelola di hadapan para nasa-bah yang menitipkan dana kepada mereka. Sementara ben-tuk hubungannya dengan para pengelola modal tergantung pada kon-disi. Bisa jadi ia akan menjadi sesama pemilik modal atau sebagai mitra usaha mengelola modal, sebagai penjual atau sebagai pemberi pinjaman, tergantung dengan karakter perjanjian usaha yang mengikat kedua belah pihak.

Bentuk kerja sama ini diikat dengan beberapa kaidah be-rikut:

* Tidak adanya tanggungjawab pihak pengelola modal terhadap usaha investatif ini kecuali karena faktor keteledoran atau faktor pelanggaran. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara usaha investatif melalui jasa perbankan atau usaha-usaha inves-tatif lainnya.

* Masalah pertanggungjawaban di berbagai bank-bank Islam tidak akan dapat diselesaikan selain dengan membangun keimanan yang bisa mengarahkan orang untuk tetap konsekuen menjaga keseimbangan kehidupan manusia. Kemudian ditambah dengan memberikan perhatian maksimal dalam mempelajari berbagai sistem pengembangan modal yang digeluti oleh berbagai bank Islam dengan tetap memantau sistematika sub diskripsi dan letak geografis berbagai proyek tujuan serta berbagai bentuk hubungan lazim lainnya yang dikenal orang sebagai berada di bawah pertanggungjawaban pihak bank.

* Tidak perlu memperhatikan upaya yang dilakukan kalangan kontemporer yang memaksa pihak bank bertanggungjawab dalam transaksi ini. Itu disebabkan lemahnya dasar-dasar ilmu fiqih mereka ketika mengemukakan berbagai upaya tersebut. Belum lagi bahwa upaya mereka itu bertentangan dengan ijma" Ahli Fiqih.

* Tidak boleh menetapkan prosentase tertentu dari modal yang ada dalam sebuah usaha investasif. Kalau ketetapan itu diambil, maka perjanjian dianggap batal.

* Dibolehkan membagikan keuntungan pada setengah pu-taran dengan terus menjalankan usaha. Bisa jadi keuntungan itu akan bersifat permanen, kalau masing-masing dari putaran itu dianggap sebagai perjanjian tersendiri dengan kalkulasi dan pen-danaan tersendiri pula. Kemudian bila investor mau menarik modalnya dibolehkan, dan dibolehkan juga untuk dikembangkan kembali dengan perjanjian baru.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana yang dititip-kan secara keseluruhan meskipun sebagian dari dana kadang tidak tergunakan secara langsung dalam pengelolaan modal. Karena hak dalam perjanjian kerja sama tergantung pada perjanjiannya, bukan pada modalnya. Jadi tidak tergantung pada penggunaan dana, namun disesuaikan dengan kesepakatan untuk mengkhu-suskan penggunaan dana tersebut dalam kepentingan syirkah.

* Kerja tahunan perbankan itu hendaknya dibagi menjadi beberapa masa putaran yang saling beruntun. Masing-masing masa putaran membentuk sebuah usaha investatif tersendiri dengan kalkulasi keuntungan dan kerugian tersendiri. Pihak bank hendaknya memperbanyak masa putaran itu agar semakin ba-nyak kesempatan bertubi-tubi para pengelola modal yang terbuka di depan mata mereka untuk mengembangkan dana mereka, sehingga bisa ikut andil dalam proyek mana saja yang mereka kehendaki. Tanpa mereka harus beralih kepada bentuk usaha investatif lain setelah memulai bekerjasama dengan proyek tersebut, atau terpaksa menunggu lama tanpa ada proses pengem-bangan modal yang diinginkan.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana titipan de-ngan cara yang lazim. Kalau masing-masing dana yang ada jumlahnya itu jumlahnya sama maka tentu keuntungan dibagikan dengan sama rata. Kalau tidak sama, dibagikan secara prosentasif berdasarkan jumlah dana masing-masing. Sehingga tidak perlu lagi mengadopsi aturan "siapa kuat siapa menang" seperti adopsi yang dilakukan berbagai bank Islam dari berbagai bank berbasis riba, untuk menyelesaikan problematika dana-dana yang tidak seimbang waktu penarikannya. Karena dengan sistem pemutaran dana itu batas penarikan dana nasabah menjadi satu.

Akhirnya, sistem usaha investatif dengan ilmu dan keya-kinan dalam memahami hukum-hukumnya dapat memuaskan kebutuhan usaha-usaha perbankkan dengan segala macam cabang-cabang dan pihak yang terkait serta intensitas kerjanya yang nyaris tidak pernah berhenti.

Kiat Memfungsikan Sistem Investasi Kolektif Secara Umum

Berbagai bank Islam telah banyak memberikan manfaat melalui sistem perjanjian usaha semacam ini. Oleh sebab itu, se-baiknya perusahan-perusahaan pengembangan modal Islam juga berperan serta memfungsikannya. Misalnya dengan menerima titipan dana dari para investor dengan perhitungan mereka seba-gai pemilik dana, kemudian menghidupkan dana-dana tersebut dalam berbagai proyek pengembangan dana di sektor pertanian, perindustrian dan perniagaan, dengan berfungsi sebagai penge-lola atau mitra pengelola. Bila Allah memberikan rezeki keun-tungan kepada mereka, dibagi-bagi di antara mereka dengan para pemilik modal berdasarkan kesepakatan. Ini yang disebut sebagai pengembangan dana langsung.

Pihak perusahaan juga bisa mengulang kembali usaha investatif ini dengan dana yang ada dengan menyerahkannya kepada orang-orang yang memiliki skill dan kemampuan menge-lola proyek-proyek tertentu, akan tetapi mereka membutuhkan modal untuk mendanani semua proyek mereka. Dengan cara itu, karakter perusahaan ini menjadi ganda.

Di hadapan para penitip modal pertama, perusahaan ini berperan sebagai pengelola dana atau mitra usaha investatif.

Sementara di hadapan orang-orang yang qualified yang me-reka serahkan dana untuk diputar, mereka berperan sebagai pemilik modal atau sebagai orang yang diberi hak kuasa, bila terjadi kesepakatan di atas akad wikalah ma’jurah (pemegang kuasa yang di upah) investor untuk membayar mereka sebagai peme-gang hak kuasa dana.

Pemikiran inilah yang menjadi batu pertama dalam mem-bangun berbagai bank Islam modern, sebagaimana telah dijelas-kan sebelumnya.

Cara Pembagian Keuntungan Terhadap Dana yang Ber-beda-beda Waktu Penggunaannya Sebagai Modal Usaha

Sehubungan dengan pengelolaan dana kolektif ada proble-matika dalam sistem pembagian keuntungan terhadap dana-dana yang berbeda-beda waktu penggunaannya sebagai modal usaha. Karena usaha tersebut dilakukan dengan mencampurkan aku-mulasi dana yang masuk secara beruntun, yang dana-dana itu tidak terkumpulkan secara bersamaan pada awal usaha. Untuk menyelesaikan problematika ini, bisa dilakukan dengan salah satu dari dua cara:

* Pertama: Dengan sistem beberapa kali masa pemutaran dana, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

* Kedua: Dilakukan hukum rimba, yakni dengan cara memberikan keuntungan pada dana-dana itu sesuai dengan masa mendekamnya dana-dana itu untuk digunakan sebagai modal usaha pengembangan dana. Uang titipan yang mendekam selama setahun misalnya, bisa memperolah keuntungan sempurna. Se-mentara yang hanya mendekam setengah tahun, mendapatkan setengah keuntungan. Dan yang mendekam selama tiga bulan, hanya mendapatkan seperempat keuntungan. Demikian seterusnya.


Di antara yang layak diingat sehubungan dengan peraturan terakhir ini, bahwa sistem ini masih diperdebatkan, karena me-ngandung unsur manipulasi. Karena bisa jadi uang yang datang belakangan itu berfungsi menutup kerugian, atau memperoleh keuntungan dari fase di mana dana itu belum berfungsi sebagai modal.

Beberapa Catatan Untuk Diingat

Ketika mencanangkan sebuah usaha pengembangan modal kolektif berdasarkan perjanjian usaha seperti di atas, harus meng-hindari beberapa hal berikut:

* Menetapkan keuntungan dengan prosentase yang tetap dari modal yang ada, atau jumlah mati. Hal itu berdasarkan ijma" ulama persyaratan atau ketetapan itu adalah batil.

* Meminta pertanggungjawaban pengelola tanpa adanya keteledoran atau pelanggaran. Itu juga berdasarkan ijma" posisi pengelola dana terhadap dana yang dikelolanya, seperti posisi orang yang dititipkan amanah. Ia tidak bertanggung jawab menggantinya kecuali bila melakukan keteledoran atau pelanggaran.


Satu hal lagi yang perlu diingatkan, bahwa berbagai upaya yang bermacam-macam telah dilakukan pada masa sekarang ini untuk melegalisasikan dua hal terlarang di atas. Semua upaya tersebut tak lepas dari cacat. Upaya untuk mencari keringanan pada dua hal ini atau pada salah satu di antaranya bisa meng-alihkan perjanjian tersebut dari bentuk usaha investatif, kepada bentuk simpan pinjam. Sementara kelebihan yang diperoleh teralihkan dari lingkaran keuntungan kepada bentuk riba yang diharamkan, sehingga menghancurkan persyaratan perjanjian ini dari dasarnya.

KESIMPULAN:

Hukum-hukum Tentang Syarikat

Syirkah dalam terminologi Ahli Fiqih berarti aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah disyariatkan menu-rut ijma" para ulama kaum muslimin.

Syirkah ada dua macam: Syirkah kepemilikan dan syirkah transaksional.

Sementara syirkah transaksional terbagi menjadi: Syirkah "inan, syirkah abdan (usaha), syirkah wujuh (prestigal), syirkah mufa-wadhah (komprehensif) dan syirkah mudharabah (usaha investatif).

Syirkah "inan adalah aliansi dalam modal, usaha dan keun-tungan. Syirkah seperti ini secara konsensus dibolehkan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat pada beberapa bentuk aplikasinya.

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:

1. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi berak-tivitas. Boleh dilakukan bersama non muslim, asal dia tidak dibi-arkan mengoperasikan modal sendirian, karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.

2. Objek transaksi, yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan di kalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui prosentasenya. Harus me-rupakan bentuk prosentase yang umum. Kalau ada bagian yang diperuntukkan secara khusus bagi salah satu pihak tanpa melalui proses pemutaran dana, perjanjian tersebut rusak.

3. Pelafalan perjanjian. Yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan dengan segala cara yang dapat mengindi-kasikan kearah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan maupun tindakan.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan bahwa keuntungan itu harus berdasarkan jumlah modal. Bisa saja di dibeda-bedakan. Karena keuntungan itu bisa didapat berdasarkan modal, bisa juga berdasarkan usaha. Sementara usaha yang dilakukan masing-masing pihak berbeda-beda.

Asal dari syirkah ini adalah dibolehkan. Syirkah itu berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Namun syirkah itu secara otomatis berlangsung dengan berjalannya usaha, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Itu terus berlangung sampai hingga modal habis diputar dan kembali menjadi uang kontan seperti sebelumnya. syirkah juga berakhir dengan meninggalnya salah seorang transaktor, karena dia gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Namun syirkah tidak menjadi batal dengan habisnya salah satu dari dua modal yang ada setelah keduanya dicampurkan. Namun kalau harta itu hangus sebelum dicampurkan, berarti syirkah batal.

Di antara bentuk aplikasi bentuk usaha syirkah dalam berba-gai bentuk pengembangan modal kolektif adalah syirkah permanen, syirkah berdasarkan proyek tertentu dan syirkah non permanen yang pada akhirnya menjadi hak milik penuh pengelola.

Syirkatul Abdan (Syirkah Usaha)

Yakni aliansi dua pihak atau lebih dalam segala usaha yang dilakukan oleh tangan mereka, seperti kerjasama yang dilakukan oleh para ahli keterampilan usaha dan sejenisnya. Mayoritas ulama membolehkan syirkah semacam itu. Namun Imam Syafi"i melarangnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya kesamaan usaha dalam syirkah ini. Kalangan Malikiyah dan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka memberla-kukan syarat itu. Namun kalangan Hanafiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam riwayat lain menentang pendapat itu.

Keuntungan dalam syirkah semacam ini berdasarkan kesepa-katan orang-orang yang beraliansi di dalamnya, disamakan atau dibeda-bedakan. Dasar aliansi para transaktor dalam keuntungan pada syirkah ini adalah jaminan masing-masing kepada yang lain. Maka seluruh orang yang terlibat kerjasama dalam syirkah ini berada dalam satu hak. Setiap usaha yang dilakukan oleh salah seorang di antara mereka adalah di bawah jaminan pihak lain.

syirkah ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian, atau karena dia meninggal dunia, gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Syirkatul Wujuh (Syirkah Prestigal)

Yakni aliansi yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli barang dagangan dengan modal nama baik mereka secara berhutang, lalu bila ada keuntungan dibagi secara bersama.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini. Kalangan Hanafiyah membolehkannya demikian juga kalangan Hambaliyah. Namun kalangan Syafi"iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuknya.

Syirkatul Mufawadhah

Yakni syirkah di mana seluruh yang terlibat dalam syirkah ini memiliki kesamaan modal, aktivitas dan bahkan hutang piutang dari awal syirkah hingga akhir. Ini merupakan bentuk kerja sama komprehensif di mana seluruh pihak bersepakat untuk bersekutu dalam segala sesuatu. Bahkan masing-masing menyerahkan kepa-da pihak lain untuk melakukan segala bentuk aktivitas yang wajib dilakukan pihak lain.

Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang disyariat-kannya syirkah ini. Mayoritas ulama membolehkannya, namun kembali Imam Syafi"i 5 melarangnya.

Alasan yang diambil oleh Imam Syafi"i untuk melarangnya adalah bahwa karena syirkah ini mengandung unsur penjaminan terhadap yang tidak diketahui dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya adalah perjanjian rusak, bila ditinjau secara terpisah, bagaimana lagi bila keduanya dilakukan secara bersamaan?

Alasan beliau itu dibantah dengan pernyataan bahwa keti-daktahuan tersebut karena terjadi sebagai konsekuensi logis. Satu tindakan terkadang dianggap tidak sah kalau dijadikan tujuan, tetapi diangap sah bila hanya sebagai konsekuensi.

Sementara kalangan Hambaliyah menetapkan syarat dibo-lehkannya syirkah ini bila tidak dimasukkan ke dalamnya usaha sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan, ber-arti kerja sama batal, karena mengandung unsur penipuan.

Adapun kalangan Hanafiyah memberikan persyaratan ada-nya kesamaan dalam modal, usaha dan keuntungan serta hutang piutang. Pada umumnya syirkah ini dilakukan dalam berbagai bentuk perniagaan, harus diimplementasikan melalui pelafalan sebagai syirkah Mufawadhah. Kalau syarat-syarat atau sebagai syarat-syarat Syirkah Mufawadhah ini tidak terpenuhi, maka menurut para ulama, syirkah ini berubah menjadi Syirkah "Inan.

Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa tanggungan kerugian selalu identik dengan jumlah modal dalam segala bentuk syirkah. Namun dalam soal keuntungan, mereka berbeda pendapat apakah harus disesuaikan dengan jumlah modal atau berdasarkan kesepakatan, harus disamakan atau dibeda-bedakan.

Syirkatul Mudharabah (Kerjasama Usaha Investatif)

Mudharabah adalah penyerahkan modal kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pedagang itu. Kerja sama ini dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin.

Rukun-rukun kerja sama ini ada tiga: Dua pihak transaktor, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Dua transaktor seperti biasa disyaratkan harus memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh saja bekerja sama dengan non muslim, dengan syarat harus terus dimonitor pengelolaan dana-nya agar tetap terjaga kehalalannya.

Sementara objek transaksi disyaratkan harus berupa alat tukar –emas, perak dan uang--. Dibolehkan menanamkan modal dengan hutang yang berada di tangan orang yang mampu memba-yarnya dan tentu saja mengakui bahwa dirinya memang berhutang, menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. Dibolehkan juga menanamkan modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang titipan tersebut sudah dibelanjakan, sehingga hukumnya menjadi modal berupa hutang. Investor juga bisa menambahkan dana segar pada modal yang ada, namun harus ditinjau sebagai modal terpisah dengan keuntungan dan kerugian tersendiri. Boleh juga menarik sebagian modal, yang berarti transaksi terhadap modal yang sudah ditarik menjadi batal. Namun hak investor terhadap modal yang tersisa tetap ada. Ketika terjadi kerugian, kerugian itu bagi-bagikan pada modal yang sudah tertarik dan yang tersisa.

Sementara dalam usaha investasi ini disyaratkan hendaknya modal diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Ka-langan Hambaliyah membolehkan penyerahan modal itu kepada para industriawan dalam bentuk alat-alat produksi dengan meng-ambil keuntungan dari sebagian hasilnya, dikiyaskan atau diana-logikan dengan muzara"ah (usaha investatif pertanian) dan musaqat (usaha penyiraman perkebunan). Pengelola modal tidak dibo-lehkan mengembangkan modal dengan menjual barang-barang haram, para ulama bersepakat dalam hal ini. Boleh juga mela-kukan usaha investasif dengan kriteria tertentu, selama kriteria tersebut berguna dan dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Memberi batasan waktu pada usaha ini juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang benar, sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Pengelola juga bisa menyewa orang untuk melaksanakan berbagai tugas pengelolaan yang memang tidak harus dikerjakanannya sendiri menurut kebiasaan. Bahkan pengelola bisa melakukan usaha investasi lain dengan pengelola lain menggunakan modal yang sama, kalau ia diizinkan oleh pemilik modal atau diberikan hak penuh untuk mengelola modal-nya sesuka hati. Pengelola juga bisa menggunakan modal tersebut untuk mengajak kerja sama pengelola lain. Namun pengelola tidak dibolehkan untuk berhutang dalam melakukan usaha, kecuali bila diizinkan oleh investor, karena tindakan itu menambah tanggung jawab pada diri investor tanpa keridhaannya. Kalau itu dilakukan, berarti jual beli itu menjadi jual beli pengelola sendiri, dan ia menjadi mitra investor, selama itu tidak mengganggu akti-vitas pengelolaan modalnya bersama investor.

Keuntungan usaha investatif ini harus diketahui secara jelas, harus berupa prosentase yang umum. Kalau salah seorang diten-tukan mendapatkan bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian itu batal.

Sehubungan dengan keuntungan dalam usaha investatif ini, pembagiannya harus memenuhi beberapa kode etik berikut:

Keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sementara kerugian hanya ditanggung oleh investor saja.

Keuntungan dalam usaha investatif juga sebagai cadangan modal. Pengelola tidak mendapatkan keuntungan sebelum ia me-nerima kembali modal secara utuh. Pengelola hanya bisa mengambil keuntungan melalui pem-bagian.

Hak kepemilikan keuntungan hanya menjadi permanen bagi masing-masing pihak setelah dilakukan perhitungan akhir, baik secara aplikatif maupun kalkulatif.

Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun nan-tinya dihitung pada perhitungan akhir.

Pengelola boleh mengambil bagian dari uang modal sebagai biaya perjalanannya melakukan bisnis, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang.

Tidak ada pertanggungjawaban bagi pengelola dalam perjan-jian ini selain karena keteledoran atau pelanggaran. Tidak perlu diperhatikan adanya berbagai trik kamuflase untuk membatalkan dasar hukum ini.

Perjanjian usaha investatif ini berakhir dengan mening-galnya salah satu transaktor atau karena dia gila, atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang. Bisa juga karena pembatalan salah satu pihak, hanya saja usaha itu tetap berlangsung bila telah di-mulai menurut pendapat yang benar dari para ulama, hingga habisnya modal diputar, demi menghindari bahaya akibat pemu-tusan hubungan usaha yang tiba-tiba.

Dibolehkan mengambil keuntungan usaha ini dalam ling-kungan perbankan dengan cara memberikan modal kepada pihak lain untuk diputar atau dengan cara lain. Demikian juga dalam lingkungan pengembangan modal kolektif lain secara umum.

Sumber : Alsofwah.or.id

Sistem Murabahah

Sabtu, 14 April 2007 - 03:10:33, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Kategori : Kajian Utama
Sistem Murabahah

Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan, praktik ini dan yang sejenis –seperti leasing- pun tak lepas dari jerat riba.

Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli.
Transaksi ini ada 3 jenis:
1. Murabahah
Gambarannya adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.
2. Wadhi’ah
Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-
3. Tauliyah
Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.
Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
3. Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.
4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.
5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke took dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci:
- bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
- bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun. (Syarhul Buyu’, hal. 90-92)
Wallahu a’lam bish-shawab.

MASALAH INTERNASIONAL DALAM AKUNTANSI MANAJEMEN

BAB I
PENDAHULUAN


Menjalankan bisnis dalam lingkungan global mengharuskan manajemen mengubah perspektifnya. Terdapat banyak kesamaan aspek bisnis pada skala lokal dan global. Namun beberapa di antaranya berbeda. Perusahaan yang menjalankan usahanya di negara asal dan negara lainnya mungkin menemukan bahwa praktek bisnis yang berjalan baik di negara asal ternyata tidak berlaku di negara lain. Sebagian besar perbedaan ini berkaitan dengan lingkungan bisnis yaitu lingkungan budaya, hukum, politik, dan ekonomi dari masing-masing negara.
Dalam dunia bisnis global membutuhkan akuntan manajemen untuk menangani masalah keuangan dan operasi bisnis sehari-hari. Latihan yang baik, pendidikan, dan tetap mengikuti perubahan yang terjadi adalah penting bagi seorang akuntan. Namun, tugas akuntan manajemen pada perusahaan internasional lebih kompleks karena perubahan yang terus menerus terjadi pada bisnis global. Karena tugas utama akuntan manajemen adalah menyediakan informasi yang relevan kepada pihak manajemen dan agar terap mampu mengikuti perkembangan, maka akuntan manajemen harus membaca berbagai buku dan artikel bisnis mengenai sistem informasi, pemasaran, manajemen, politik, dan ekonomi. Selain itu, akuntan manajemen harus akrab dengan peraturan akuntansi keuangan dari negara di mana perusahaan beroperasi.


BAB II
PERMASALAHAN


Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa peran akuntansi manajemen dalam lingkungan internasional?
2. Apa saja bentuk keterlibatan perusahaan dalam perdagangan internasional?
3. Apa saja cara yang ditempuh oleh akuntan manajemen dalam mengelola risiko nilai tukar mata uang asing?
4. Mengapa perusahaan multinasional memilih bentuk desentralisasi?
5. Bagaimana faktor-faktor lingkungan mempengaruhi evaluasi kinerja pada perusahaan multinasional?
6. Apa peran penetapan harga transfer pada perusahaan multinasional?
7. Bagaimana perusahaan multinasional menghadapi masalah-masalah etika yang mempengaruhi operasi perusahaan di lingkungan internasional?



BAB III
PEMBAHASAN


A. AKUNTANSI MANAJEMEN DALAM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Lingkungan bisnis internasional yang global mempunyai berbagai budaya, hukum, politik dan ekonomi yang berbeda. Akuntansi manajemen berperan menyediakan informasi yang relevan kepada pihak manajemen. Akuntan manajemen menyediakan keterampilan bisnis dan keuangan. Tugas akuntan manajemen pada perusahaan multinasional lebih menantang karena ambiguitas dan perubahan terus menerus sifat dari bisnis global. Akuntan manajemen harus tetap mengikuti perkembangan mutakhir berbagai bidang bisnis mulai dari sistem informasi, pemasaran, manajemen, politik dan ekonomi. Selain itu, akuntan manajemen harus memahami standar akuntansi keuangan dari berbagai negara di mana perusahaan beroperasi.

B. KETERLIBATAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Perusahaan multinasional (multinational corporation / MNC) adalah perusahaan yang menjalankan bisnis di lebih dari satu negara yang volume dan pertumbuhannya juga terjadi di lebih dari satu negara. beberapa yang lazim adalah perusahaan impor dan ekspor, cabang-cabang keseluruhan, dan joint venture.
• Impor dan ekspor
Impor bahan baku mempunyai kompleksitas biaya pada pengenaan freight-in atau ongkos masuk dan tariff atau pajak impor. Sedangkan dalam penjualan barang ke luar negeri atau ekspor, kompleksitas terdapat pada negara tujuan.


• Zona perdagangan luar negeri
Akuntan manajemen harus waspada terhadap biaya yang timbul dari impor bahan baku. Akuntan manajemen juga harus mampu mengevaluasi manfaat potensial dari zona perdagangan luar negeri ketika mempertimbangkan lokasi pabrik.
• Pakta perdagangan dan tarif
Pakta perdagangan antar berbagai negara mempengaruhi besarnya tarif yang berlaku. misalnya NAFTA yang memungkinkan importir Amerika Serikat, Meksiko, dan kanada membayar tarif yang lebih rendah untuk barang-barang yang di produksi di ketiga negara tersebut.
• Perusahaan yang dimiliki sendiri
Suatu perusahaan mungkin saja membeli perusahaan di luar negeri dan menjadikannya perusahaan anak yang berdiri sendiri. Bila undang-undang suatu negara mengijinkan, maka perusahaan multinasional dapat juga mendirikan perusahaan anak atau kantor cabang di negara tersebut. Outsourcing pekerjaan teknis dan profesional menjadi isu yang sangat penting bagi perusahaan. Outsourcing adalah pembayaran oleh suatu perusahaan atas fungsi bisnis yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dalam konsep perusahaan multinasional, outsourcing adalah memindahkan suatu fungsi bisnis ke suatu negara lain. Akuntan manajemen harus memperhatikan berbagai biaya dan manfaat dari outsourcing yang mungkin tidak tersedia dalam suatu negara. Berbagai struktur pajak dan insentif dari otoritas suatu negara, serta tingkat pendidikan dan infrastruktur memainkan peranan penting dalam penilaian dalam akuntan manajemen terhadap biaya dan manfaat.
• Joint Venture
Joint venture adalah jenis persekutuan dimana para investor menjadi bagian dari pemilikan perusahaan. Joint venture dilakukan untuk menggabungkan keahlian, menghadapi undang-undang yang berlaku, dan merangsang investasi demi meningkatkan produktivitas dalam negeri.

C. NILAI TUKAR MATA UANG ASING
Perubahan kurs mata uang asing dalam bisnis internasional yang terjadi setiap hari menambah ketidakpastian terhadap operasi perusahaan internasional. Akuntan manajemen berperan dalam pengelolaan eksposur terhadap risiko mata uang.
• Manajemen risiko mata uang (currency risk management) adalah pengelolaan perusahaan terhadap transaksi, ekonomi, dan translasi eksposurnya karena fluktuasi kurs tukar.
• Risiko transaksi (transaction risk) adalah kemungkinana bahwa transaksi kas di masa depan akan dipengaruhi oleh fluktuasi kurs tukar.
• Risiko translasi atau akuntansi (Translation or Accounting Risk) adalah tingkat di mana laporan keuangan perusahaan terpengaruh oleh fluktuasi kurs tukar.

1. Mengelola Risiko Transaksi
Perusahaan multinasional sekarang ini berurusan dengan banyak jenis mata uang. Mata uang tersebut dapat saling diperdagangkan, tergantung pada kurs tukar yang berlaku pada saat berlakunya perdagangan. Kurs spot (spot rate) adalah kurs tukar dari satu jenis mata uang terhadap mata uang lain untuk transaksi tunai (pada hari yang sama).
Macam-macam risiko transaksi :
a. Apresiasi dan Depresiasi Mata Uang
Ketika mata uang suatu negara menguat secara relatif terhadap mata uang negara lain, terjadilah apresiasi mata uang (currency appreciation) dan satu unit mata uang negara yang disebut pertama mampu membeli lebih banyak mata uang negara kedua.
Depresiasi mata uang adalah berarti mata uang negara melemah secara relatif dan membeli lebih sedikit unit mata uang negara lain.
b. Keuntungan dan Kerugian Kurs Tukar
Kerugian kurs tukar (exchange loss) adalah suatu kerugian kurs tukar dari mata uang terhadap mata uang lain yang disebabkan oleh depresiasi mata uang dalam negeri.
Keuntungan kurs tukar (exchange gain) adalah keuntungan dari suatu mata uang terhadap mata uang lain karena apresiasi mata uang dalam negeri.

c. Hedging
Hedging atau pembendungan adalah satu cara untuk mengatsi masalah resiko perubahan kurs tukar. Hedging bisa dilakukan dengan kontrak forward. Kontrak forward mengharuskan pembeli menyerahkan sejumlah tertentu mata uang dengan kurs tukar tertentu (kurs tukar forward) pada tanggal yang telah ditentukan di masa depan.

2. Mengelola Risiko Ekonomi
Risiko ekonomi adalah dampak fluktuasi kurs tukar terhadap nilai sekarang (present value) dari arus kas perusahaan di masa depan. Risiko demikian dapat mempengaruhi daya saing relatif perusahaan meskipun perusahaan tersebut tidak pernah berpartisipasi langsung dalam perdagangan internasional.
Akuntan mengelola eksposur perusahaan terhadap risiko ekonomi dengan memahami posisi perusahaan dalam ekonomi global. Akuntan menyediakan struktur dan komunikasi keuangan perusahaan. Hedging dengan kontrak forward juga bisa dilakukan untuk mengelola risiko ekonomi.

3. Mengelola Risiko Translasi
Perusahaan induk sering mencatat ulang semua pendapatan perusahaan anak dalam mata uang lokal. Pencatatan kembali ini dapat mengakibatkan keuntungan dan kerugian oportunitas atas revaluasi mata uang asing dan dapat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan anak serta penghitungan yang berkaitan dengan ROI dan Laba Residu. Laporan internal dengan denominasi dolar diperlukan untuk mengukur semua angka dengan dasar yang sama. Namun strategi tersebut bisa menyesatkan para manajer jika pembanding dibuat terhadap waktu. Akuntan manajemen harus waspada terhadap sumber risiko translasi ini.

D. DESENTRALISASI
1. Keunggulan Desentralisasi MNC
Desentralisasi MNC dipilih karena berbagai keunggulan, yaitu :
• Manajer lokal mampu menghasilkan keputusan dengan mutu yang baik dengan pemanfaatan informasi lokal yang bermutu.
• Manajer lokal mampu memberikan tanggapan yang lebih tepat waktu untuk mengubah keadaan
• Melatih dan memotivasi manajer lokal untuk mengembangkan keterampilan manajerial
• Memberi kesempatan manajemen puncak untuk lebih memusatkan perhatian kepada masalah-masalah jangka panjang seperti perencanaan strategis.

2. Pendirian Divisi
Perusahaan multinasional memiliki fleksibilitas dalam pembentukan jenis-jenis divisi. Divisi dapat didirikan menurut dasar garis geografis, lini produk, dan lini manajemen fungsional. Adanya divisi di lebih dari satu negara menciptakan kebutuhan perangkat evaluasi kinerja yang mempertimbangkan berbagai perbedaan pada lingkungan divisi.

E. MENGUKUR KINERJA PADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Pemisahan evaluasi manajer dari suatu divisi dari evaluasi divisi tersebut penting dilakukan. Evaluasi manajer sebaiknya tidak menyertakan faktor-faktor di luar kendali perusahaan seperti fluktuasi mata uang, pajak dan sebagainya, tetapi harus dievaluasi berdasarkan pendapatan dan biaya, dengan menyesuaikan mata uang perusahaan induk dan perusahaan anak.
Sulit membandingkan kinerja seorang divisi manajer di suatu negara dengan kinerja seorang manajer suatu divisi di negara lainnya karena terdapat perbedaan kondisi lingkungan. Namun yang benar-benar mempengaruhi adalah Laba dan ROI.
1. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Evaluasi Kinerja :
a. Faktor faktor ekonomi
• Organisasi dari sistem bank sentral
• Stabilitas ekonomi
• Eksistensi pasar modal
• Pembatasan valuta
b. Faktor-faktor politik dan hukum
• Kualitas, efisiensi, dan keefektifan struktur perundang-undangan
• Pengaruh kebijakan pertahanan
• Dampak kebijakan luar negeri
• Tingkat kerusuhan politik
• Tingkat keterlibatan pemerintah dalam bisnis
c. Faktor-faktor pendidikan
• Tingkat melek huruf
• Cakupan dan jenjang pendidikan formal serta sistem pelatihan
• Cakupan dan jenjang pelatihan teknik
• Keluasan dan mutu program pengembangan manajemen
d. Faktor-faktor sosiologis
• Perilaku sosial terhadap industri dan bisnis
• Perilaku budaya terhadap otoritas dan orang-orang yang menjadi bawahan
• Perilaku budaya terhadap produktifitas dan keberhasilan (etika kerja)
• Perilaku sosial terhadap keuntungan material
• Keragaman budaya dan ras

2. Ukuran Kinerja Lainnya
Selain laba residu dan ROI (pengukuran jangka pendek), diperlukan ukuran kinerja tambahan yang erat kaitannya dengan kepentingan jangka panjang perusahaan. Ukuran tersebut misalnya pangsa pasar, keluhan pelanggan, rasio perputaran karyawan, dan pengembangan personal.

F. PENETAPAN HARGA TRANSFER DAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL
1. Evaluasi Kinerja
Divisi-divisi sering dievaluasi berdasarkan laba bersih dan pengembalian atas investasi. Namun, harga transfer seringkali diatur oleh perusahaan induk, sehingga penggunaan ukuran ROI dan laba bersih meragukan.
2. Pajak Penghasilan dan Penetapan Harga Transfer
Adanya tarif pajak yang berbeda antar suatu negara dengan negara lain menyebabkan perlunya pusat reinvoicing untuk memindahkan tagihan dari negara dengan pajak tinggi ke negara yang pajaknya rendah.
Pengaturan harga transfer sesuai dengan harga yang berlaku apabila transfer dilakukan pihak lain, yang disesuaikan dengan berbagai selisih yang menimbulkan dampak yang dapat diukur atas harga tersebut.
Ada beberapa metode penetapan harga yang mendekati harga pasar yaitu:
a) Metode harga tak terkendali yang dapat diperbandingkan (comparable uncontrolled price) yaitu pada dasarnya diakui sebesar harga pasar.
b) Metode harga jual kembali (resale price method) yaitu harga jual yang diterima penjual dikurangi markup yang wajar.
c) Metode biaya plus (cost-plus method) yaitu harga transfer berdasarkan biaya.
d) Metode penetapan harga di muka (Advance Prising Agreement= APA) adalah perjanjian mengenai metode penetapan harga yang diaplikasikan dalam suatu transaksi Internasional.

G. ETIKA DALAM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Perusahaan multinasional menghadapi masalah-masalah etika yang tidak dihadapi perusahaan domestik. Masing-masing negara mempunyai kebiasaan dan peraturan yang berbeda. Perusahaan multinasional harus menetapkan apakah kebiasaan tertentu benar-benar suatu cara berbisnis yang berbeda atau apakah merupakan pelanggaran atas kode etik berbisnisnya.

H. KALKULASI BIAYA VARIABEL DAN PELAPORAN SEGMEN
Pemisahan biaya tetap dan biaya variabel pada kalkulasi biaya variabel adalah penting bagi evaluasi yang akurat untuk menghasilkan keputusan yang saling terkait. Laporan kontribusi laba dari berbagai aktivitas atau unit-unit lainnya dalam suatu organisasi disebut pelaporan segmen (segmen reporting).
Para manajer perlu mengetahui profitabilitas berbagai segmen dalm suatu perusahaan agar mampu membuat berbagai evaluasi dan keputusan yang berhubungan dengan eksistensi berkelanjutan setiap segmen, tingkat pendanaan, dan seterusnya. Laporan segmen mampu menyediakan informasi yang berharga mengenai berbagai biaya yang dapat dikendalikan oleh manajer segmen.



BAB IV
KESIMPULAN


Menjalankan bisnis dalam lingkungan global mengharuskan akuntan manajemen untuk menyediakan keterampilan bisnis dan keuangan. Tugas utama akuntan manajemen adalah harus tetap mampu mengikuti perkembangan mutakhir berbagai bidang bisnis, mulai dari sistem informasi, pemasaran, manajemen, politik, dan ekonomi.
Perusahaan yang terlibat dalam bisnis internasional dapat membangun kegiatan mereka dalam tiga cara. Mereka dapat menjalankan kegiatan impor dan ekspor, membeli perusahaan anak yang dimiliki penuh, dan berpartisipasi dalam joint venture.
Akuntan manajemen harus memperhatikan potensi eksposur perusahaan mereka terhadap risiko transaksi, risiko ekonomi, dan risiko translasi. Mereka dapat melakukan hedging untuk membatasi eksposur perusahaan terhadap ketiga risiko tersebut.
Perusahaan multinasional memilih bentuk desentralisasi karena alasan-alasan yang hampir sama dengan alasan perusahaan nasional memilih desentralisasi. Dengan desentralisasi, manajer lokal mampu menghasilkan keputusan yang lebih baik melalui pemanfaatan informasi lokal. Manajer lokal juga mampu memberikan tanggapan yang lebih tepat waktu untuk mengubah keadaan. Alasan lainnya adalah untuk melatih dan memotivasi manajer lokal serta memberi kesempatan bagi manajemen puncak untuk lebih memusatkan perhatiaannya kepada masalah-masalah jangka panjang, seperti perencanaan strategis.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi evaluasi kinerja pada perusahaan multinasional adalah faktor sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya.
Ketika satu dari perusahaan memproduksi produk yang digunakan dalam proses produksi divisi lain, muncul harga transfer. Harga transfer merupakan pendapatan bagi divisi penjual dan biaya bagi divisi pembeli. Sama halnya dengan perusahaan domestik, perusahaan multinasional dapat menggunakan harga transfer dalam evaluasi kinerja. Perusahaan multinasional dengan perusahaan anak di negara dengan pajak tinggi dan negara dengan pajak rendah dapat memanfaatkan penetapan harga transfer untuk menggeser biaya ke negara berpajak tinggi (biaya akan memperkecil pembayaran pajak) dan menggeser pendapatan ke negara berpajak rendah.
Perusahaan multinasional menghadapi masalah-masalah etika yang tidak dihadapi perusahaan domestik. Masing-masing negara mempunyai kebiasaan dan peraturan yang berbeda. Perusahaan multinasional harus menetapkan apakah kebiasaan tertentu benar-benar suatu cara berbisnis yang berbeda atau apakah merupakan pelanggaran atas kode etik berbisnisnya.


BAB V
PENUTUP


Akuntan manajemen mempunyai peranan penting dalam menjalankan bisnis di lingkungan internasional. Bisnis membutuhkan akuntan manajemen untuk menangani masalah keuangan dan operasi bisnis sehari-hari. Namun, tugas akuntan manajemen pada perusahaan interansional lebih kompleks karena perubahan yang terus menerus terjadi pada bisnis global.
Karena tugas utama akuntan manajemen adalah menyediakan informasi yang relevan kepada pihak manajemen dan agar terap mampu mengikuti perkembangan, maka akuntan manajemen harus membaca berbagai buku dan artikel bisnis mengenai sistem informasi, pemasaran, manajemen, politik, dan ekonomi. Selain itu, akuntan manajemen harus akrab dengan peraturan akuntansi keuangan dari negara di mana perusahaan beroperasi


LAMPIRAN
CONTOH KASUS




DAFTAR PUSTAKA


Hansen, Don R., dan Maryanne M. Mowen. 1997. Akuntansi Manajemen Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.

TEORI DAN REALITA DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA

Krisis Global yang terjadi ahhir - akhir ini tidaklah lain merupakan suatu efek multiplier dari subprime mortgage yang gagal di Amerika Serikat dan menjadi sebuah alur yang dramatis akan sebuah perubahan dari iklim ekonomi dunia. Semua kejadian ekonomi yang luar biasa terjadi dalam sebuah rentetan krisis yang membuat semua pihak yang terlibat untuk kembali berfikir dan menelaah sisi fundamental ekonomi yang telah menjadi dasar kebijakan ekonomi selama ini. Dalam hal ini, krisis yang terjadi berawal dari sebuah krisis finansial pada akhirnya berbuntut pada semua aspek ekonomi bahkan sosial dan Indonesia pun tidak lepas dari rentetan efek krisis tersebut.
Teori klasik mendeskripsikan bahwa Pasar yang bebas, spesialisasi dengan tidak adanya campur tangan pemerintah (Libelarisasi) merupakan formula yang baik bagi peningkatan GNP dan NNP yang berasal dari semua sektor akan tetapi hal tersebut kenyataannya malah membuat pasar semakin liar dan tidak rasional. Di Indonesia sendiri, krisis tersebut membuat inflasi yang cukup terasa dan hal tersebut terjadi pula di semua negara selain Indonesia. Secara psikologis, keadaan seperti ini justru membuat ketidakpastian di semua kalangan ekonomi tentang apa yang akan terjadi di masa depan termasuk masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia. Sentimen negatif yang terjadi di dalam sektor finansial Indonesia membawa dampak yang cukup berat akibat dari pengaruh anjloknya saham wall street tersebut. Hal itu disebabkan adanya kegagalan akuntabilitas dan kekhawatiran akan insolvency dalam pasar sehingga pasar memberikan sentimen negatif dan lebih memilih konservatif sehingga banyak terjadi pula transaksi yang bersifat tidak rasional, keadaan tersebut mempengaruhi pula terhadap sektor finansial diindonesia. Anjloknya saham membuat semua perusahaan yang tecantum di pasar modal kekurangan likuiditas modal karena sentimen pasar yang serentak menjual sahamnya dan terjadilah seperti yang disebutkan diatas yaitu tidak rasionalnya transaksi dalam pasar saham karena setiap broker menjadi saling ketergantungan satu sama lain. Jatuhnya harga saham membuat kesediaan modal semakin mahal selain itu, Bank Indonesia pun menaikan suku bunganya menjadi 9,75% dan membuat biaya produksi pun menjadi naik sehingga membuat sebagian biaya dan harga hasil produk yang meningkat dan hal tersebut memicu adanya inflasi dalam negeri yang membuat daya beli masyarakat berkurang karena harga mengalami yang kenaikan. Selain itu, perusahaan pun berusaha menutupi biaya yang terlalu mahal tersebut yaitu salah satunya dengan perampingan tenaga kerja dalam perusahaan sehingga jumlah pengangguran pun semakin meningkat dan fenomena tersebut mulai dirasakan efeknya pada sektor rill dan masyarakat langsung.
Pasar yang terlalu bebas seperti yang dikatakan oleh teori klasik membuat seorang ahli ekonomi asal inggris yang bernama John Maynard Keynes membuat asumsi dan teori baru bahwa sesungguhnya perekonomian itu perlu adanya suatu intervensi pemerintah guna adanya internal dan eksternal kontrol yang diciptakan melalui kebijakan pemerintah dan tidak menuntut adanya suatu spesialisasi. Di Indonesia sendiri, hal tersebut memang sudah diterapkan akan tetapi belum murni sepenuhnya berjalan karena tuntuntan globalisasi dan free trade yang mempengaruhi segala kebijakan pemerintah terutama dalam hal penanaman modal asing. Hal lain yang dari krisis tersebut adalah eksportir di Indonesia mulai merasakan dampaknya setelah beberapa waktu pasca krisis karena permintaan bahan baku oleh negara importir menurun drastis karena krisis yang melanda, terutama Amerika yang merupakan pengimpor bahan baku nomor 1 dari Indonesia sehingga memaksa eksportir dalam negeri harus banting setir ke negara lain yang masih potensial. Akan tetapi, ditengah krisis yang melanda di Indonesia nilai mata uang dollar Amerika malah semakin menguat karena sentimen pasar uang yang masih ragu melakukan transaksi karena spekulasi yang masih buram sehingga pasar lebih bersifat konservatif dan permintaan dollar pun semakin kuat terutama oleh pihak pemerintah dan perusahaan swasta yang memerlukan dollar untuk membayar utang luar negerinya. Kontan, nilai impor pun naik dan hal tersebut sekali lagi membuat daya beli masyarakat turun sehingga rentan akan inflasi.
Penyelesaian krisis tersebut membutuhkan suatu solusi bijak yang ter-integritas semua masyarakat dunia agar tidak adanya kebijakan yang dinilai baik untuk dalam negeri akan tetapi merugikan bagi pihak lain.

SUATU RINGKASAN MENGENAI PERIODISASI PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM ERA ORDE BARU

Era Orde Baru dimulai setelah adanya pernyataan kemunduran presiden Soekarno dari tahta kepemimpinan yang di tandai pula dengan berakhirnya Era Orde Lama pada tahu 1965. Pada awal Era Orde Baru yang di motori oleh Soeharto sebagai presiden RI yang kedua tersebut mengambil langkah kebijakan awal yang cukup yang jauh berbeda dengan kebijakan Orde Lama yaitu meliputi tiga kebijakan diantaranya; Mengembalikan ekonomi pasar, Memperhatikan Sektor Ekonomi, dan Merangkul Barat. Kebijakan Politik Bebas Aktif telah mampu membawa bangsa ini ke kancah politik dunia baik ke Barat dengan tanpa meninggalkan Timur. Pada awal Orde Baru dilakukanlah suatu Rehabilitasi ekonomi sehingga pada waktu itu belum terasa adanya suatu pembangunan yang signifikan. Akan tetapi, sebuah program Pembangunan Lima Tahun telah di canangkan sebagai rencana pembangunan lima tahunan dalam stabilisasi ekonomi bangsa. Dari kebijakan itulah defisit anggaran bisa teratasi dan Indonesia pun mulai menjalin kerjasama dengan IMF dan Bank Dunia lagi. Dalam suatu kebijakan lainnya yaitu kebijakan uang ketat, liberalisasi perdagangan dan investasi, munculnya UU PMA, dan lainnya.
Pada langkah awal pembangunannya, Soeharto lebih berorientasikan disektor pertanian hingga tahun 1970-an dengan tidak meninggalkan sektor pertambangan dan minyak. Hingga akhirnya, pendapatan Negara meningkat US$0,6 milyar pada tahun 1973 menjadi US$10,6 milyar pada tahun 1980. Bahkan pada waktu itu, bangsa Indonesia telah mencapai Swasembada pangan. Penerimaan negara yang tinggi diimbangi pula dengan peredaran uang yang tinggi sehingga terjadi inflasi yang tinggi karena sektor moneter tak mampu menyerap setiap peningkatan likuiditas. Oleh karena itu, pemerintah mempercepat pertubumhan industri. Kebijakan utang ketat pun dijalankan sebelumnya oleh karena itu pada waktu harga minyak dunia turun, kebijakan itu terasa membantu.
Pada tahun-tahun berikutnya, para konglmerat mulai menguasai sektor ekonomi sehinggan GNP pada waktu itu hanya berputar di kalangan konlomerat saja. Suatu kesenjangan sosial mulai nampak dikalangan masyarakat hingga tahun 90-an.
Pada akhir Orde Baru, yang ditandai dengan maraknya konglomerasi sektor ekonomi, praktek KKN dimana – mana, lilitan utang luar negeri yang menggunung, dan masalah politik lainnya menyebabkan keadaan perekonomian dan sosial Bangsa Indonesia mengalami suatu krisis multidimensi, tak jarang penjarahan dan kerusuhan diberbagai pelosok Indonesia terjadi. Inflasi pun meingkat ke level Hyper inflation sehingga Rupiah pada waktu itu turun drastis dari nilai Dollar. Puncak dari krisis sekitar pun terjadi, sehingga banyak aksi Mahasiswa dan Ormas Berunjuk rasa menuntut Reformasi dan akhirnya pada bulan Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kepemimpinannya dengan meninggalkan suatu jejak krisis di segala bidang dan keadaan perekonomian yang carut-marut dalam cengkraman IMF.

SUATU RINGKASAN MENGENAI PERIODISASI PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM ERA KOLONIAL

Perekonomian Indonesian pada Era Kolonial lebih berorientasikan kepada Pertanian terutama dalam hal pengolahan rempah – rempah dan industri perkebunan. Pada mulanya, bangsa Indonesia memang terkenal akan hasil bumi nya. Akan tetapi, kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia membuat hasil bumi bangsa Indonesia lebih terkenal di dunia. Pada masa pendudukan Belanda dengan kongsi dagangnya yang disebut VOC yang dibentuk pada tahun 1602, hasil bumi indonesia pun di monopoli olehnya, dengan hak istimewa yang mereka miliki, mereka mampu menguasai pangsa produksi Hasil bumi dengan mudah. Akan tetapi, masa emas VOC berakhir dengan kehancuran, banyak terjadi korupsi, nepotisme, dan hilangnya hak – hak istimewa yang mereka miliki dalam memonopoli perdagangan sehingga VOC terpaksa dibubarkan dan tanah jajahan diserahkan kepada kerajaan.
Setelah masa kekuasaan VOC berakhir, dijalankanlah sistem perekonomian yang baru dibawah pemerintahan kerajaan inggris yaitu dengan sistem pajak tanah, dari sanalah rakyat indonesia mulai mengenal uang secara rill sebagai alat tukar. Akan tetapi, masa pemerintahan Inggris pun berakhir dan pemerintah hindia belanda pun kembali menduduki. Sistem pajak tanah yang pernah di terapkan pemerintahan Inggris pun di ganti oleh sistem tanam paksa yang diterapkan guna menutupi kekosongan kas negara. Dari tanam paksa itulah, Belanda menjadi produsen penting di pasar dunia. Akan tetapi, sistem tanam paksa banyak menuai kontroversi dikalangan tokoh belanda hingga berakhir lah sistem tanam paksa pada tahun 1870.
Pada masa setelah tanam paksa ditiadakan, sistem perekonomian pun kembali di rombak yaitu dengan sistem kapitalisme karena adanaya suatu desakan dari kaum liberal. Sistem kapitalisme membuat perkebunan pemerintah di swastanisasi yang kemudian dijadikan ajang investasi bagi para investor asing. Para pribumi lebih banyak menjadi pekerja perkebunan dan dari sanalah perekonomian mulai tumbuh sehingga tercermin pula dari banyak warga pribumi yang naik haji. Selain itu, pada masa tersebut, produksi perkebunan pribumi di pasar dunia menjadi komoditas berkualitas baik terutama gula dan tembakau Deli. Gula yang produksinya 3 juta ton/tahun menjadi sebuah primadona dan sedang mencapai jaman keemasannya sehingga mencapai peringkat kedua pengekspor gula dunia . Tembakau Deli yang menjadi tembakau terbaik di pasar lelang jerman tak kalah unggulnya dengan gula. Industri yang menopang kebutuhan hidup pun banyak bermunculan. Akan tetapi warga pribumi hanya menikmati 0.54% dari pendapatan nasional dan sisanya dinikmati Belanda dan warga pendatang lainnya.
Pada masa itu, pemerintahan Hindia-Belanda melakukan suatu Politik Etis kepada pribumi yang diantaranya Irigasi, Edukasi ,dan Transmigasi sehingga pada masa itu berbagai kegiatan penyuluhan pertanian, kesehatan dan kegiatan lainnya. Bank Perkreditan pun banyak bermunculan untuk keperluan permodalan rakyat.. Akan tetapi, semua itu hanya digunakan untuk menunjang politik pendudukan mereka di Indonesia sehingga politik etis yang mereka canangkan bagi warga pribumi akhirnya bermuara pada kepentingan Belanda juga.

SUATU RINGKASAN MENGENAI PERIODISASI PEREKONOMIAN INDONESIA

Sejarah mengenai perkembangan perekonomian merupakan suatu gambaran realitas kehidupan ekonomi bangsa Indonesia yang tercermin dari masa ke masa dan terus mengalami perubahan. Pergerakan Perekonomian Indonesia mulai awal berkembang pesat pada Era Kolonial, pada masa itu pendudukan belanda telah membuat bangsa indonesia mengenal berbagai sistem perekonomian kolonial yang mereka terapkan dalam peng-eksploitasian kekayaan Indonesia walaupun pada masa Indonesia dalam keadaan yang tertindas. Berbagai jenis komoditas Indonesia telah dikenal bahkan merajai ekspor dunia, akan tetapi tetap saja Rakyat Indonesia hanya mendapatkan bagian kecil dari hasil bumi tersebut. Pada Era pendudukan jepang, perekonomian bangsa Indonesia mengalami perubahan yang amat drastis dan segala perekonomian mengalami carut-marut karena kebijakan militer jepang.
Setelah indonesia merdeka, mulailah suatu Era Orde lama, semua perusahaan asing mulai di Nasionalisasikan dan segala kebijakan pemerintah mulai diterapkan, mulai dari Gerakan benteng sampai Ali-Baba di terapkan, akan tetapi belum mampu membangkitkan sektor ekonomi bangsa pada waktu itu bahkan indonesia yang terkenal dengan komoditas peringkat dunia mulai merosot tajam. Pada masa pergantian Era Orde Lama ke Orde Baru yaitu setelah Soeharto diangkat menjadi Presiden mulailah dilaksanakan suatu kebijakan baru yang jauh berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang lebih condong ke negara timur menjadi berpaling ke negara Barat bahkan IMF sehingga pada masa itu Indonesia telah mampu berhutang dan mengalami suatu defisit anggaran negara. Segala kebijakan pembangunan dan kebijakan Luar Negrei Bebas Aktif diterapkan diantaranya; PELITA, munculnya UU PMA, dan lain-lain. Pada Era tersebut, terjadilah pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan kearah positif yaitu ditandai dengan naiknya produksi Migas, akan tetapi inflasi masih saja terjadi dan menurunnya daya saing industri NonMigas dan buruknya pada masa itu perekonomian Indonesia didominasi oleh konglomerasi sehingga terjadi kesenjangan sosial. Pada akhir Era Orde Baru merupakan klimaks dari sejarah krisis perekonomian Indonesia yang merupakan suatu krisis multidimensi, sebagian Bank dilikuidasi, inflasi berada dalam tingkat hyper inflation sehingga nilai tukar rupiah terhadap Dollar menurun drastis. Pada masa itulah suatu akhir dari Era Orde Baru dan mulailah memasuki Era Reformasi.
Pada awal Era Reformasi, perekonomian Indonesia mengalami suatu dilematis dalam pemecahan krisis tersebut, kebijakan Orde Baru semua di rombak habis sehingga dampak positifnya bentuk ekonomi sektor rill UKM dan Koperasi mulai kembali bergairah walaupun pada awalnya, masalah perolehan dana untuk usaha agak sulit di dapatkan. Pengetatan lembaga Perbankan mulai deterapkan sehingga tidak heran kalau pada masa itu banyak bermunculan Lembaga Finasial Non Bank. Akan tetapi tidak dapat kita pungkiri jika dampak krisis multidimensi masih terasa sampai sekarang dan terus memerlukan suatu pemecahan yang bijak.

ANALISIS KONSTRIBUSI PDB ANTARSEKTOR SERTA ANALISIS TAKE-OFF PERIODE 1969 - 1983

1.ANALISIS PERHITUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI PER TAHUN
TABEL I
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 – 1983
(dalam milyaran Rupiah, atas dasar harga konstan tahun 1973)

1970 = >5.182 – 4.820,5/4.820,5 x 100%= 7,49% 1977=>8.882 - 8.156,3/8.156,3 x 100%=8,16%
1971=>5.544,7 – 5.182/5.182 x 100%=6,99% 1978=>9.556,5 - 8.882/8.882 x 100%=8,44%
1972=>6.067,2 - 5.544,7/5.544,7 x 100%=9,42% 1979=>10.164,9 - 9.556,5/9.556,5x 100%=6,25%
1973=>6.753,4 -6.067,2 / 6.067,2 x 100%=11,31% 1980=>11.169,2 - 10.164,9/10.164,9 x 100%=9,88%
1974=>7.269,0 - 6.753,4/6.753,4 x 100%=7,63% 1981=>12.054,6 - 11.169,2/11.169,2 x 100%=7,92%
1975=>7.630,8 -7.269,0 / 7.269,0 x 100%=4,97% 1982=>12.325,4 - 12.054,6/12.054,6 x 100%=2,25%
1976=>8.156,3 - 7.630,8/7.630,8 x 100%=6,88% 1983=>12.843,2 - 12.325,4/12.325,4 x 100%=4,19%
Pada awal tahun 1971, perekonomian maju di sektor migas sampai dengan tahun 1980 yaitu sekitar US$0,6 miliar pada tahun 1973 disektor migas dan meningkat hingga tahun 1980 menjadi US$10,6 miliar karena ada penggenjotan di sektor tersebut dan mulai melirik sektor pertanian pula yang kemudian tercapailah suatu swasembada pangan . Akan tetapi, pada tahun 1980 tersebut terjadi inflasi karena defisit berimbang yang tidak diikuti unsur likuiditas dan uang yang terlalu banyak beredar dan memaksa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga tahun data tahun 1983 pemerintah memulai langkah baru dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi yaitu dengan menitikberatkan pembangunan industri yang sayangnya industri yang dibangun ialah industri yang prematur dan bersifat mercusuar bukannya industri yang berorientasi pada spesialisasi persaingan global yang membentuk ketahanan bangsa yang mampu membawa bangsa indonesia dalam posisi take-off. Hal ini semakin berakibat buruk setelah timbulnya konglomerasi yang mengakibatkan tidak likuidnya sektor moneter bangsa pada era setelah 1983 sampai dengan 1997. Naiknya jumlah investasi swasta terutama konglomerasi yang melebihi tabungan swasta disinyalir sebagai salah satu indikator likuiditas yang rentan solvency karena jumlah nya yang melebihi LDM sampai dengan 100% ditambah lagi dengan kurangnya likuiditas sektor perbankan pada waktu itu yang perputaran dananya terlalu cepat dalam kegiatan perkreditan sehingga dana cadangan nya mengalami kekurangan untuk melakukan operasinya terutama terhadap nasabahnya yang menyimpan uangnya dalam Bank kurang dijamin bahkan gagal secara likuiditas penjaminan dana bagi nasabahnya.



2. PERHITUNGAN STRUKTUR EKONOMI DILIHAT DARI KONSTRIBUSI PDB TIAP SEKTOR


TABEL II
Lapangan usaha
1970 1983

pertanian, kehutanan & perikanan
46,95364 29,94502
pertanbangan & penggalian 9,368323 7,448101
industri pengolahan 8,270926 15,12591
listrik, gas & air minum 0,406597 0,878354
Bangunan 2,375272 6,264503
pengangkutan & komunikasi 3,273519 5,859588
perdagangan, lembaga keuangan & jasa lainnya 29,35173 34,47852
Jumlah
100 100







LAPANGAN USAHA 1969 1983
Pertanian,kehutanan, &perikanan 2.263,4/4.820 x 100%=46,95% 3.845,6/12.842 x 100%=29,95%
Pertambangan & penggalian 451,6/4.820 x 100%=9,37% 956,5/12.842 x 100%=7,45%
Indstri Pengolahan 398,7/4.820 x 100%=8,27% 1.942,5/12.842 x 100%=15,13%
Lisrik, gas & air minum 19,6/4.820 x 100%=0,41% 112,8/12.842 x 100%=0,88%
Bangunan 114,5/4.820 x 100%=2,36% 804,5/12.842 x 100%=6,26%
Pengangkutan & Komunikasi 157,8/4.820 x 100%=3,27% 752,5/12.842 x 100%=5,86%
Perdagangan, lembaga keuangan
& jasa lainnya 1.414,9/4.820 x 100%=29,35% 4.427,8/12.842 x 100%=34,48%

Perubahan struktur ekonomi terlihat signifikan, yaitu terjadi penurunan konstribusi di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan, pertambangan sedangkan dibidang lainnya mengalami kenaikan, hal ini seperti apa yang di asumsikan oleh Collin Clarck yaitu adanya suatu penurunan sektor primer dari tahun ke tahun, dan meningkatnya sektor sekunder dan tersier. Hal ini bisa terjadi karena adanya pendapatan perkapita penduduk dari tahun ke tahun, yang dimana setiap kenaikan pendapatan penduduk selalu diiringi kenaikan konsumsi tersier dan sekunder, sehingga dapat pula meningkatkan pendapatan pemerintah di bidang pajak dan itu merupakan suatu hal yang secara rill dan logis. Adanya suatu perkembangan Industri dan jasa non tambang dan tani yang semakin beragam dan berorientasi pasar mungkin bisa pula sebagai stimulus dari setiap konstribusi tiap sektor. Selain itu, perecepatan pertumbuhan ekonomi mulai digalakan terutama di sektor industri karena ada pukulan defisit berimbang pada tahun 1980 yang memaksa adanya percepatan pertumbuhan ekonomi Via industrialisasi.

KURVA KONSTRIBUSI PDB PER SEKTOR


Jika dilihat dari konstribusi masing- masing sektor terhadap PDB, bisa dilihat adanya suatu penurunan pada sektor 1 dan 2 dibanding yang lainnya, bisa dibilang inilah gambaran bahwa bangsa Indonesia dalam periode tahun bersangkutan sudah ada kecenderungan untuk menuju tahap take-off (asumsi Clark) jika dilihat dari PDB berikut konstribusi tiap sektornya walaupun tahun selanjutnya kenyataan itu berubah hingga berbuah krisis berkepanjangan di kuarter ke-2 tahun 1997 dan berdampak multidimensi di tahun-tahun berikutnya.

artikel krisis global 2008

Rabu, 15/10/2008 19:01 WIB
Dampak Krisis Global, dari Wall Street ke Mangga Dua
Wahyu Daniel - detikFinance


Foto: Reuters

Jakarta - Krisis keuangan di AS yang berimbas pada ketatnya likuiditas di pasar akan membuat perusahaan di Indonesia sulit untuk melakukan ekspansi usahanya.

Ini dikarenakan sulitnya mencari pendanaan baik melalui IPO atau menjual obligasi lewat pasar, bahkan kredit perbankan pun saat ini suku bunganya sudah cukup tinggi.

Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan Raden Pardede dalam seminar "Krisis Keuangan di AS: Dampaknya Bagi Ekonomi Dunia, Bisnis dan Indonesia" di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (15/10/2008).

Dengan krisis yang terjadi likuiditas ketat, apalagi rencana bailout US$ 700 miliar oleh pemerintah AS akan membuat dana-dana di emerging market beralih kepada treasury bills, ini menyebabkan pasar saham Indonesia drop dan harga obligasi pemerintah naik.

"Akhirnya perusahaan-perusahaan kita akan sulit menerbitkan bond atau melakukan IPO karena tidak ada likuiditas, jadi forget about bond dan IPO pada saat ini," tuturnya.

Raden mengatakan krisis sektor keuangan di AS lambat laun memang akan terasa imbasnya kepada sektor riil terutama terhambatnya ekspansi usaha perusahaan karena likuiditas yang ketat.

Bahkan Raden memberikan judul pada makalahnya mengenai gejala tersebut yaitu "From Wall Street to Mango Two (Mangga Dua)" yang menggambarkan bagaimana krisis ini akan berpengaruh terhadap sektor riil.

"Memang sangat ironis, di saat krisis muncul di AS justru banyak dana saat ini bahkan dari emerging market yang beralih kepada treasury bills yang mengakibatkan treasury bills naik dan cost of fund kita naik. Apalagi karena hancurnya kredit akibat subprime mortgage memunculkan ketidakpercayaan bank untuk mengucurkan kredit. Hal ini menyebabkan investor beralih kepada money market dan treasury bills," paparnya.

Semua hal ini dikatakan Raden membuat yield (imbal hasil) SUN pemerintah naik drastis di pasar, dan tentu saja perusahaan tidak bisa mencari dana lewat obligasi karena pasti harganya mahal.

"Namun dengan berbagai kebijakan pelonggaran likuiditas yang dikeluarkan oleh pemerintah dan BI diharapkan bisa memecahkan masalah yang terjadi, tapi bukan berarti masalah selesai, saya bukan menakut-nakuti. Oleh karena itu fiskal harus siap melakukan counter cyclical," katanya.(dnl/ddn)
ekonomi
Ketua MPR:
Hadapi Krisis, Belajar pada Timur Tengah
Sabtu, 18 Oktober 2008 - 15:17 wib
Rus Akbar - Okezone


PADANG - Pemerintah disarankan belajar pada negara-negara di Timur Tengah dalam menghadapi krisis keuangan yang terjadi saat ini.

Saran itu dicetuskan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nurwahid, usai silaturahmi dengan kader Partai Keadilan Sejatera di Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang, Sumatra Barat, Sabtu ((18/10/2008).

Kata Hidayat, di tengah krisis yang melanda berbagai negara di belahan dunia, negeri-negeri di Timur Tengah malah mendapatkan keuntungan berlipat.

"Ada salah satu cara, yaitu belajar pada Timur Tengah yang tidak terkena dampak krisis ekonomi Amerika, dengan sistem ekonominya berbasis syariah," cetus Hidayat yang merupakan doktor lulusan Madinah, Arab Saudi.

"Kita perlu menjalin komunikasi mengenai bagaimana sistem ekonomi syariah yang mereka terapkan, sehingga kita bisa juga mendapatkan investasi yang lebih besar," paparnya.

Pemerintah juga disarankan menjalin komunikasi dengan Eropa, karena saat ini negara-negara di belahan dunia itu tengah berupaya meninggalkan sistem ekonomi yang lama dan beralih pada sistem ekonomi yang baru.

Untuk diketahui, dalam pertemuan di Brussel, Belgia, Rabu 15 Oktober lalu, para pemimpin Eropa mencetuskan sistem ekonomi baru pengganti sistem Bretton Woods yang dibuat pada masa Perang Dunia II. Sistem Bretton Woods merupakan cikal bakal kelahiran Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

"Dengan momentum ini, negara kita memanfaatkan kesempatan untuk membuat sistem ekonomi yang baru yang tak kalah bagusnya dengan ekonomi AS yang hegemonik dan arogan, yang berdampak pada krisis ekonomi dunia yang besar," papar alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, ini.

Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini berharap Indonesia tidak menjadi korban yang parah dari krisis yang terjadi saat ini. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah operasional untuk meyakinkan publik, bahwa kita memiliki sistem ekonomi yang kuat. (jri)


Tanggapan :
Krisis global yang melanda seluruh dunia sekarang ini yang disebabkan oleh adanya Subprime Mortgage crissis di Amerika memang telah banyak memengaruhi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Seperti yang tertulis dalam artikel pertama, krisis memang telah banyak menyebabkan sektor moneter dan masalah pengetatan likuiditas perkreditan Indonesia menjadi terasa berat. Memang kita harus waspada akan dampak yang mungkin lebih buruk lagi karena masalah tersebut, akan tetapi jangan terlalu mengambil spekulasi seakan-akan langit akan runtuh yang membuat kegelisahan masyarakat semakin bertambah akan ketidak-pastian yang terjadi sehingga masyarakat akan benar-benar beralih kedalam treassury bills & market money yang akibatnya masyarakat menjadi lebih konservatif dan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap terhadap pasar modal seperti yang Raden Pardede katakan kepada Publik. Apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah tentang pengetatan kredit memang terasa berat dan semakin memahalkan cost of fund bagi pengusaha dan menurut pardede hal tersebut bisa membuat kehancuran sektor rill pula. Akan tetapi, sektor rill perekonomian di Indonesia yang dikuasai UKM sebesar 59% tidaklah akan cepat terkena dampaknya oleh karena sektor UKM lebih mempunyai daya tahan kuat daripada perusahaan besar yang sudah Go Publik dan itu sudah terbukti di dalam krisis moneter 1998 lalu yaitu dimana UKM & Koperasi mampu bertahan dan berkembang pesat 99,9% ditengah krisis. Oleh karena itu, kekhawatiran tersebut bukanlah suatu spekulasi yang kuat dan tidak perlu dijadikan suatu alasan ketakutan akan apa yang terjadi besok akan tetapi jadikanlah hal tersebut sebagai suatu stimulus bagi semua kepentingan untuk mencari solusinya bukan untuk menjadi lebih protektif konservatif terhadap probabilitas ketidak-pastian di masa yang akan datang. Naiknya BI Rate sebesar 25 basis poin tidaklah semata-mata untuk memberatkan kreditor akan tetapi lebih di maksudkan untuk memperbaiki sektor moneter dan rill kita yang sudah terlanjur carut-marut di landa krisis.
Sistem perekonomian Indonesia seperti apa yang di kemukakan oleh Hidaya Nurwahid pada artikel kedua memang suatu solusi yang patut kita jadikan bahan pertimbangan akan tetapi alangkah baiknya tidak kita hanya merombak sistemnya saja akan tetapi mekanisme dari perekonomiannya juga harus kita telaah lebih dalam. Apabila kita lihat dari potensi alam agraris kita yang subur & kaya akan hasil SDA terutama pertanian & perkebunanan, mestinya kita sadar bahwa itulah keunggulan kita dalam perekonomian kita. Sejarah telah membuktikan bahwa dari sektor agraris itulah kita pernah mencapai kemakmuran bangsa, dan apabila kita lihat bahwa krisis pangan dan raw material dunia yang sekarang melanda merupakan prospek cerah bagi Indonesia untuk memenuhi demand dari masalah diatas. Tentu negara Arab punya keunggulan SDA (minyak) yang berbeda dengan Indonesia(Pertanian&perkebunan), apabila dibandingkan, Indonesia bisa lebih unggul karena mempunyai SDA primer yang dapat diperbaharui. Ini bukanlah suatu konsep, akan tetapi merupakan suatu solusi bangsa dan jatidirinya bahwa negara ini adalah negara agraris yang kaya akan potensinya. Kalau kita terus fokus dalam industri manufaktur otomotif, elektronik, mekanisme pasar,dll misalnya jelas kita akan kalah dalam hal nama maupun teknologinya dengan bangsa lain. oleh karena itu, yang kita perlukan ialah spesialisasi dalam gerakan hijau. Kita patut belajar dari bangsa Arab, akan tetapi kita juga patut belajar dari bangsa Vietnam, Kamboja, Selandia Baru, dan negara Agraris lainnya yang mampu mengenal jatidiri bangsa mereka dan mampu mengelolanya menjadi suatu potensi prospektif yang berbasis agraris.