Pages

SISTEM MUDHARABAH (INVESTASI) DAN HUKUM-HUKUMNYA

SISTEM MUDHARABAH (INVESTASI) DAN HUKUM-HUKUMNYA

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Definisi Mudharabah

Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini meli-batkan dua pihak: pihak yang memiliki modal namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.

Disyariatkannya Penanaman Modal

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma" ulama yang membolehkannya.

Diriwayatkan dalam al-Muwaththa" dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan, "Abdullah dan Ubaidullah bin Umar bin Al-Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al-Asy"ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata, "Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan." Kemudian beliau me-lanjutkan, "Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Saya me-minjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil." Mereka berkata, "Kami suka itu." Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab agar Amirul Mukminin itu meng-ambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keun-tungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya, "Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau berkata, "Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keun-tungannya." Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Semen-tara Ubaidullah langsung angkat bicara, "Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab." Umar tetap berkata, "Berikan uang itu semuanya." Abdullah tetap diam, sementara Ubaidullah tetap membantah. Tiba-tiba salah se-orang di antara sahabat Umar berkata, "Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?" Umar menjawab, "Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal." Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, se-mentara Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah keuntungan sisanya."

Diriwayatkan juga dari al-Alla bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya uang sebagai modal usaha, dan keuntungannya dibagi dua.

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan perjanjian usaha semacam itu hingga jaman sekarang ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan secara turun temurun hingga jaman Nabi, beliau mengetahui dan membiarkannya.

Satu hal yang logis, bila pengembangan modal dan pening-katan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan melalui pemu-taran atau perdagangan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berjual-beli. Dan tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu bisnis penanaman modal ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan keduabelah pihak.

Rukun-rukun Bisnis Investasi

Seperti bentuk usaha yang lain, bisnis penanaman modal ini juga memiliki tiga rukun: Dua atau lebih pelaku, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Pertama: Dua atau Lebih Pelaku.

Kedua pihak di sini adalah investor dan pengelola modal. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas. Yakni orang yang tidak dalam kondisi bangkrut terlilit hutang. Orang yang bangkrut terlilit hutang, orang yang masih kecil, orang gila, orang ediot, semuanya tidak boleh melaksanakan transaksi ini. Dan bukan merupakan syarat bahwa salah satu pihak atau kedua pihak harus seorang muslim. Boleh saja bekerja sama dalam bisnis penanaman modal ini dengan orang-orang kafir Ahlu Dzimmah (orang kafir yang dilindungi, pent.) atau orang-orang Yahudi dan Nashrani yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti ada-nya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga aktivitas tersebut terbebas dari riba dan berbagai bentuk jual beli yang berdasarkan riba.

Kedua: Objek transaksi.

Objek transaksi dalam penanaman modal ini tidak lain adalah modal, usaha dan keuntungan.

1. Modal

Dalam soal modal ini disyaratkan harus merupakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang secara umum. Penanaman modal ini tidak boleh dilakukan dengan menggunakan barang, kecuali bila disepakati untuk menetapkan nilai harganya dengan uang. Sehingga nilainya itulah yang menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha. Dengan dasar itulah hitung-hitungannya dianggap selesai untuk masa kemudian.

Alasan dilarangnya sistem penanaman modal dengan meng-gunakan barang komoditi tersebut karena konsekuensi ketidakje-lasan keuntungan saat pembagian. Karena harga barang itu diketahui dengan perkiraan dan rekaan saja, dan itupun bisa ber-beda-beda dengan perbedaan alat tukar yang digunakan. Ketidak-jelasan itulah yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan dan pertikaian. Karena ketika ia mengambil barang, harganya sekian. Dan ketika ia mengembalikannya, harganya sudah berbeda pula. Hal itupun berimbas pada ketidakjelasan keuntungan dan modal.

Boleh saja melakukan penanaman modal dengan hutang yang ada di tangan orang lain, selama orang itu bukan orang yang kesulitan membayarnya, berdasarkan pendapat yang benar dari para ulama.

Dan dibolehkan juga melakukan penanaman modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang yang dititipkan tersebut sudah dibelanjakan dan berubah menjadi hutang dalam tanggungan yang dititipi, karena pada saat itu ia berubah menjadi penanaman modal dengan hutang. Itu sudah dibahas dalam pem-bahasan sebelum ini, dibolehkan kalau pihak yang berhutang mam-pu membayarnya, namun kalau ia orang yang kesulitan, tidak dibolehkan.

Penambahan atau Penarikan Modal

Investor boleh-boleh saja menambahkan dana segar ke dalam modal yang ditanamkan, dengan syarat ia harus meneliti dahulu modal yang digerakkan oleh pengelola secara nyata dalam bentuk jual beli, dengan menghitung modal baru itu sebagai kesatuan tersendiri, dengan segala konsekuensi untung ruginya.

Dengan dasar ini, tidak ada salahnya memberi tambahan dana segar bila modal pertama belum dioperasikan, seperti halnya bila ia memberikan modal sekian juta secara langsung. Dan boleh juga diberikan setelah modal pertama dioperasikan, kalau modal itu telah kembali menjadi uang kontan sebagaimana adanya tanpa bertambah dan tidak juga berkurang. Bentuk ini sama dengan sebelumnya. Atau modal itu sudah mengalami penambahan atau pengurangan dan sudah diselesaikan hitung-hitungannya. Masing-masing sudah mendapatkan kembali haknya, untung ataupun rugi. Lalu keduanya menjalankan jual beli dengan sistem pena-naman modal baru. Pada saat itu, ia boleh menambahkan modal yang sudah ada sesuka hati.

Namun kalau ia memberikan modal baru setelah dioperasi-kannya modal pertama dengan jual beli, lalu disyaratkan untuk dicampurkan dengan modal pertama, itu tidak sah. Karena konsekuensi terjadinya penambalan kerugian yang satu dengan keuntungan yang lain.

Seorang investor boleh saja menarik sebagian modalnya kembali yang dia tanamkan dan membatalkan kerja sama penana-man modal pada modal yang telah diambilnya. Kemudian kalau itu dilakukan sebelum jelasnya keuntungan dan kerugian usaha, maka bagian yang diambil itu hanya bagian dari modal saja.

Namun kalau itu dilakukan setelah jelas keuntungannya, maka bagian yang diambil itu dianggap sebagai keuntungan seka-ligus modal yang diambil dari total keuntungan dan modal yang ada. Hak dari pengelola tetap diambil dari keuntungan yang sudah disisihkan. Usaha pengelola modal tidak akan mengubah status modal yang telah terkurangi dan keuntungan yang didapat-nya tidak terpengaruh oleh kerugian yang terjadi selanjutnya.

Dan apabila penarikan modal itu dilakukan setelah terlihat kerugian, kerugian itu dibagi-bagikan pada modal yang diambil dan pada modal yang tersisa. Dan kerugian pada bagian yang telah diambil tidak bisa ditutupi, meskipun setelah itu memper-oleh keuntungan.

2. Usaha

Asal dari usaha dalam penanaman modal adalah di bidang perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Di antara yang tidak termasuk perniagaan adalah bila pengelola modal mencari keuntungan melalui bidang perindustrian. Bidang perindustrian tidak bisa dijadikan lahan penanaman modal, karena itu adalah usaha berkarakter tertentu yang bisa disewakan. Kalau seseorang menanamkan modal untuk usaha itu, maka penanaman modal itu tidak sah, seperti menanamkan modal pada usaha pemintalan benang yang kemudian ditenun dan dijual hasilnya. Atau untuk usaha penumbukan gandum, lalu setelah menjadi tepung diadoni dan dijual. Demikian seterusnya. Hanya saja kalangan Ham-baliyah berpandangan bahwa penanaman modal semacam itu dibolehkan, yakni dengan cara menyerahkan alat-alat perindus-trian ke sebuah perusahaan industri dengan imbalan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal itu dikiyaskan dengan musaqat dan muzara"ah. Mereka yang membolehkan beralasan bahwa alat itu adalah materi yang dikembangkan melalui usaha, sehingga sah diikat dengan perjanjian usaha dengan imbalan sebagian keun-tungan perusahaan. Seperti modal pohon dalam musaqat dan modal tanah dalam muzara"ah.

Pengelola modal tidak boleh bekerjasama dalam penjualan barang-barang haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, minuman keras, dan jual beli riba atau yang sejenisnya.

Investasi dengan Kriteria Tertentu.

Usaha dengan sistem penanaman modal terkadang bersifat bebas, terkadang memiliki kriteria tertentu. Usaha dengan sistem penanaman modal bebas adalah dengan cara menyerahkan uang kepada pengelola tanpa menentukan jenis, bentuk, tempat dan waktu usaha, juga tanpa menentukan mitra usaha yang diajak bekerjasama.

Adapun penanaman modal dengan kriteria tertentu adalah dengan menentukan salah satu dari faktor tersebut di atas. Pada asalnya, setiap kriteria tertentu bisa disahkan, selama memang bermanfaat sebagaimana yang diriwayatkan bahwa al-Abbas pernah memberikan persyaratan kepada orang yang mengelola dana yang beliau tanamkan: agar tidak boleh dibawa berlayar di lautan, tidak boleh dibawa melewati lembah, tidak untuk dibe-likan benda hidup. Namun kalau kriteria itu tidak berguna, dianggap batal dan dianggap tidak ada.

Parameter untuk menentukan apakah kriteria itu bermanfaat atau tidak adalah hukum kebiasaan. Dan tidak bisa dihalangi bahwa bisa saja terjadi perubahan fatwa dalam persoalan itu ka-rena perubahan jaman dan tempat, selaras dengan perubahan kebiasaan yang ada.

Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Tidak ada salahnya membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat ulama yang paling benar, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, dikiyaskan dengan sistem penjaminan pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.

Mempekerjakan Orang Untuk Melakukan Investasi

Boleh-boleh saja seorang pengelola menyewa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak harus dikerjakannya sendiri dari usaha itu, seperti menawarkan barang dagangan, memindahkan-nya ke gudang penyimpanan dan sejenisnya. Pembatasan per-soalan ini hanya dikembalikan kepada kebiasaan. Namun selain itu, hendaknya pengelola modal mengurusnya sendiri tanpa menerima bayaran tersendiri.

Pihak pengelola juga bisa menjual barangnya dengan sistem pembayaran tertunda, atau membawa modalnya melakukan per-jalanan dengan hukum dasar transaksi mutak lagi dibatasi dengan kebiasaan dan kemaslahatan saja. Karena kebiasaan dunia niaga dan kepentingan usaha dengan penanaman modal itu meng-haruskan adanya sistem yang lentur dalam persoalan ini.

Melakukan Usaha Berantai dengan Penanaman Modal

Pengelola modal, bila diizinkan oleh pemilik modal atau diserahkan untuk mengurus modal itu dengan pemikirannya sendiri, boleh saja ia menamkan modal itu kembali kepada orang lain. Kalau ia juga ikut andil dalam pengelolaannya, ia juga men-dapatkan bagian keuntungan. Tetapi kalau ia tidak ikut andil dalam usaha, bahkan melepaskan diri dari usaha penanaman modal itu dengan menjadikan dirinya sebagai perantara saja, maka ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, kecuali kalau ada kesepakatan bahwa ia mendapatkan upah dengan jumlah tertentu sebagai perantara.

Dan dalam kondisi ia ikut andil dalam usaha dan keun-tungan, apakah diserahkan kepada pemilik modal apa yang telah ia syaratkan berupa keuntungan ia mendapatkan keuntungan dari seluruh modal, atau dari bagian dia sebagai pengelola modal per-tama? Ukurannya adalah kesepakatan yang tegas, atau dikem-balikan kepada lafal yang diucapkan dalam perjanjian antara pemilik dengan pengelola modal. Kalau pemilik modal menga-takan, "Ini modal untuk Anda kelola, keuntungannya nanti bila diberikan oleh Allah, akan dibagi dua di antara kita." Maka pe-ngelola modal kedua bisa mengambil ketetapan serupa, yakni pembagian keuntungan antara dia dengan pengelola pertama. Baru sisanya, dibagikan antara pengelola pertama dengan inves-tor. Namun kalau investor mengatakan, "Keuntungan yang Anda peroleh sebagai rezeki dari Allah, harus dibagikan di antara kita dengan prosentase sekian." Maka pengelola pertama harus me-nyerahkan keuntungan kepada investor kedua dan pemilik modal dari seluruh modal yang ada. Kalau ada yang tersisa setelah diam-bil prosentase keuntungan mereka, baru pengelola pertama bisa mengambil keuntungan. Kalau tidak ada, ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.

Syirkah dengan Penanaman Modal

Pengelola modal yang telah diberi kekuasaan penuh mengelola modal seseorang, bisa saja mengajak orang lain untuk ber-syirkah dengannya dengan modal tadi, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Ia juga boleh mencampurkan modal itu dengan harta pribadinya, kalau secara kebiasaan dibenarkan. Karena banyak di antara mereka yang mengelola modal yang ditanamkan orang lain, yang sebelumnya ia telah melakukan usaha dengan modalnya sendiri di dunia perniagaan. Yang jelas asal pemilik modal mengetahui hal itu dan mengizinkannya. Lain halnya kalau investor justru menunjukkan sikap sebaliknya.

Berhutang Setelah Menerima Investasi Modal

Seorang pengelola modal tidak berhak membeli barang lebih banyak dari modal untuk investasi itu, karena itu berarti ia menambah tanggungjawab pemilik modal tanpa keridhaannya. Kalau itu ia lakukan juga, dan pembelian itu telah dilakukan, maka ia menjadi mitra investor dengan modal tambahan yang harus dia tanggung itu. Namun investasi semula dari investor tidaklah mengalami penambahan.

Pengelola Ganda

Seorang pengelola modal boleh saja menerima investasi tambahan dari investor lain, selama itu tidak mengganggu usaha pengelolaan dana yang dia lakukan terhadap dana investor pertama, dan juga tidak membahayakan investor pertama. Berba-gai Lembaga Keuangan Islam bersandar pada sistem ini pada berbagai pengembangan modal modern yang mereka geluti.

3. Hukum-hukum Keuntungan

a. Syarat-syarat Keuntungan

Keuntungan dalam sistem penanaman modal ini diper-syaratkan sebagai berikut:

* Hendaknya diketahui secara jelas. Hendaknya dalam tran-saksi ditegaskan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal.

* Keuntungan itu juga dibagikan dengan prosentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungan yang demikian tanggung sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem investasi. Dan yang lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat prosentase tertentu dari mo-dalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini. Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui sistem penanaman modal ini dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, "Banyak kalangan ulama yang kami kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap batal kalau salah seorang di antara kedua belah pihak atau kedua-duanya menetapkan prosentase tertentu dirinya untuk tidak diputar dalam usaha."

b. Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan

Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keun-tungan dalam usaha berbasis penanaman modal ini yang kami ringkaskan sebagai berikut:

* Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal saja. Pembagian keuntungan itu antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman modal itu adalah berdasarkan kesepakatan mereka berdua. Namun hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memilik kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.

* Keuntungan Dijadikan Sebagai Cadangan Modal, artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada. Karena keun-tungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keun-tungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu de-ngan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.

* Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjan-jian. Oleh sebab itu tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini.

Alasan tidak dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:

o Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.

o Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.

* Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.

Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjan-jian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:

* Pertama: Perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan me-nyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

* Kedua: Perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

Boleh saja melakukan pembagian awal keuntungan sebelum dipisahkan tanpa merusak keberadaan keuntungan itu sebagai cadangan modal.

Meskipun hak kepemilikan terhadap keuntungan kedua belah pihak hanya bisa dipermanenkan melalui perhitungan akhir seperti telah dijelaskan sebelumnya, tetapi bisa saja mereka saling menyepakati pembagian keuntungan awal yang tetap akan tunduk kepada hasil perhitungan akhir nanti. Yakni kalau terjadi kerugian setelah itu, harus ditutupi dengan keuntungan yang telah dibagikan. Kalangan Ahli Fiqih Hanafiyah dan Hamba-liyah membolehkan cara itu.

Dana Operasional Pengelola

Pengelola bisa mengambil dana operasional untuk dirinya dari modal usaha bila ia dalam perjalanan, sesuai dengan kebiasaan dunia dagang. Yakni kalau pengelola melakukan satu perjalanan untuk keperluan usaha bersama itu, ia boleh meng-gunakan dana usaha untuk semua keperluannya selama ia dalam perjalanan dan selama ia tinggal di daerah orang hingga kembali ke daerahnya. Adapun bila ia bermukin di daerah atau kotanya sendiri, ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari dana usaha tersebut. Karena tinggalnya ia di negerinya, bukanlah untuk tujuan mencari keuntungan, karena sebelumnya ia juga tinggal di daerahnya tersebut. Pembedaan antara saat bepergian dengan saat tinggal di kampung halaman adalah pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah.

Tanggungjawab Pengelola Terhadap Modal Investasi

Tidak ada tanggungjawab bagi pengelola terhadap modal usaha kecuali karena keteledoran atau pelanggaran, sama dengan tanggungjawab orang-orang yang diamanahi sesuatu. Sama sekali tidak bisa digunakan segala bentuk trik manipulatif untuk meng-gugurkan hukum ini. Karena merusak kode etik ini dapat meng-giring usaha ini kepada bentuk jual beli berasas riba.

Kalau pemilik modal menetapkan syarat bagi pengelola modalnya untuk bertanggung jawab terhadap modal yang dike-lolanya, atau pengurangan keuntungan, maka syarat tersebut adalah batil. Akan tetapi apakah kerusakan itu akan terus membias kepa-da dasar perjanjian? Masih ada perbedaan pendapat Ahli Fiqih. Kemungkinan pendapat yang benar adalah bahwa perjanjian tetap sah, meski syaratnya rusak. Artinya, syarat itu tidak berlaku, tetapi perjanjian itu tetap berjalan. Para ulama Hanafiyah telah menegaskan hal itu, demikian juga kalangan Hambaliyah.

Berakhirnya Usaha Berbasis Isvestasi

Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena keharusan itu bukan bagian konsekuensi perjanjian usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan perjanjian kapan saja dia menghendaki. Hanya saja perjanjian ini wajib dilaksanakan bila sudah dimulai usahanya, menurut yang paling benar dari dua pendapat ulama yang ada. Artinya, kalau penge-lola telah memulai usahanya, berarti penanaman modal itu wajib terus berlangsung dan pemilik modal tidak bisa mengambil modalnya kembali, yakni sampai modal itu kembali menjadi uang kontan, yakni sebagaimana sebelumnya. Modal itu tidak bisa ditarik ketika usaha sedang berjalan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya yang timbul karena pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba, padahal usaha sedang berjalan. Pendapat ini diambil oleh kalangan Malikiyah.

Perjanjian usaha investatif ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak pelaku perjanjian, atau karena ia gila atau idiot. Kecuali kalau itu terjadi setelah usaha berlangsung, kalau mengacu kepada pendapat Malikiyah yang menyatakan bahwa perjanjian berjalan dengan berjalannya usaha, maka perjan-jian itu tidak berhenti. Ahli warisnya atau walinya bisa melanjutkan perjanjian tersebut sesuai dengan kesepakatan terhadap pendahu-lunya atau orang yang memberi kuasa kepadanya sebelumnya.

Cara Memfungsikan Usaha Berbasis Investasi dalam Dunia Perbankan

Perbankan Islam modern telah memanfaatkan jasa bentuk usaha ini dan menjadikannya sebagai pendongkrak kemajuan ber-bagai proyek pengembangan modal dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Telah kita paparkan sebelumnya, bahwa mudharabah atau usaha investasif ini dilakukan dengan adanya dua pihak yang terlibat: pertama pihak yang memiliki modal dan kedua pihak yang melakukan usaha. Pihak pertama disebut investor dan pihak kedua disebut pengelola modal.

Ini adalah realita yang jelas dalam berbagai bentuk aplikasi usaha berbasis penanaman modal ini: baik yang bersifat umum atau yang memiliki kriteria tertentu, baik yang bersifat modal lama atau yang modern, dan baik yang melibatkan dua pihak, atau kerja sama kolektif.

Kalau rumus ini kita terapkan dalam lingkaran berbagai aktivitas perbankan, kita harus mengenali terlebih dahulu karak-ter pemilik modal dan pengelolanya sehingga kita bisa mengenal seluruh pihak terkait dengan perjanjian pengelolaan modal ter-sebut. Itu baru awal dari sebuah perjalanan.

Tidak syak bahwa orang-orang yang memiliki titipan dan simpanan di berbagai bank adalah pihak yang menjalankan pe-ranan pemilik modal dalam konteks ini.

Sementara pengelola modalnya teraplikasikan pada pihak bank yang menerima berbagai dana titipan dan simpanan tersebut untuk disalurkan ke berbagai usaha pengembangan modal yang bermacam-macam. Setelah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian yang lazim terhadap setiap proyek pengelolaan dana yang akan digeluti. Kemudian bekerja keras siang malam meng-urus dan memonitor perkembangan usaha tersebut hingga sampai pada perhitungan akhir. Pihak bank memainkan peranan sebagai manager dalam pengelolaan dan pengembangan modal untuk disalurkan ke berbagai lokasi pengembangan modal.

Kalau pihak bank mau menambahkan modal itu dengan dana bank pribadi bank tersebut pada modal simpanan dan titipan yang ada padanya, lalu seluruh modal yang terkumpul diserah-kan pada berbagai proyek pengembangan modal yang bermacam-macam bentuknya, sebagai pengelola modal sekaligus mitra bisnis. Sebagai pengelola modal bagi dana orang lain dan sebagai mitra bisnis dengan modal yang dimilikinya sendiri sebagai modal usaha. Dalam pembahasan tentang usaha berbasis investasi, penulis memilih bahwa aplikasi usaha semacam ini adalah boleh.

Adapun berhubungan dengan sejumlah orang pengembang modal yang mendatangi pihak bank mengajukan proposal untuk pendanaan proyek-proyek mereka, atau untuk bekerjasama de-ngan mereka dalam proyek-proyek tersebut. Sesungguhnya birokrasi mereka dengan pihak pihak bank berbeda-beda, tergan-tung dengan bentuk pengembangan modal yang ditawarkan kepada mereka.

Terkadang peran mereka hanya sebatas sebagai partner modal dalam sebuah usaha investasif, yakni apabila pihak bank membiayai semua kebutuhan usaha secara lengkap, sehingga me-reka hanya melakukan tugas usaha dan administrasinya saja. Pada saat itu, pihak bank menjadi pemilik modal dari usaha mereka.

Terkadang mereka menggabungkan tugas sebagai pemilik sekaligus pengelola modal, kalau pihak bank hanya menyediakan sebagian modal yang dibutuhkan oleh proyek. Dengan modal yang mereka miliki, mereka menjadi mitra pihak bank. Dan dengan usaha yang mereka lakukan, mereka menjadi pengelola modal.

Terkadang mereka juga bisa berfungsi hanya sebagai pekerja bayaran atau pegawai, kalau kita misalkan pihak bank-lah yang bekerja mendirikan proyek tertentu dan mengikat perjanjian dengan mereka gaji yang ditentukan.

Bisa juga mereka tampil hanya sebagai peminjam uang, kalau karena satu hal atau karena alasan tertentu pihak bank tidak bisa memberikan pinjaman lunak (tak berbunga). Hal itu tentu saja sesuai dengan sistem managerial bank tersebut.

Terkadang di antara mereka ada yang hanya menjadi semacam pembeli. Misalnya pihak bank menjual semacam barang dengan penjualan langsung atau dengan sistem pembayaran ter-tunda, dalam arti pihak bank memberikan penjualan kepada mereka dengan bentuk barang untuk dibayar secara tertunda.

Dengan demikian, model hubungan pihak bank dilihat dari kedudukan bank sebagai investor menghadapi para pengelola modal, berbeda-beda sesuai dengan karakter usaha yang mengi-kat kedua belah pihak. Terkadang dalam bentuk usaha berbasis investasi, atau syirkah, jual beli saling menguntungkan atau dengan pembayaran tertunda, serta berbagai bentuk hubungan lainnya. Adapun hubungan bank dengan para nasabah yang me-nitipkan uang kepada mereka adalah atas dasar perjanjian usaha berbasis investasi dari mereka. Itulah yang menjadi bentuk usaha dasar dalam dunia pengembangan modal perbankan. Sementara birokrasi hubungan pihak bank sendiri dengan kalangan penge-lola modal tergantung pada situasi dan kondisi.

Sebagian peneliti hukum lebih cenderung menganggap hu-bungan pihak bank dengan para nasabah yang menitipkan modal kepada mereka berdasarkan penjaminan, dalam arti bahwa pihak bank mewakili para nasabahnya dalam perekrutan dana, pengum-pulan dan pencarian lubang-lubang bisnis pengembangan modal yang sesuai untuk menginvestasikan dana-dana tersebut. Baru kemudian pihak bank yang memonitor dan mengkalkulasikan segalanya, sebagai ganti dari sistem upah tetap dengan jumlah tertentu.

Sebenarnya, hubungan semacam itu tampak lebih relevan dengan dunia jasa perbankan yang hanya sebatas penyediaan fasilitas dengan upah tertentu. Adapun dalam bidang pengem-bangan modal, sepantasnya bagi pihak bank dan pihak penitip modal untuk menyempurnakan kerja sama di antara mereka di atas dasar usaha investatif. Karena pekerja itu harus diberikan gaji secara tetap. Hal itu tentu saja melipatgandakan dorongan untuk melakukan berbagai kreasi baru. Lain halnya dengan mitra usaha atau pengelola modal yang berpandangan bahwa kepentingannya dengan kepentingan pemilik modal itu tidak dapat dipisahkan, bahwasanya tidak ada jalan memperoleh keuntungan dan hasil selain dengan menjalankan proyek dan merealisasikan semua targetnya. Kalau tidak, usahanya akan gagal. Dalam hal ini tidak perlu dikorbankan ruh keikhlasan dan tidak perlu membuang percuma segala potensi dan kreasi yang dimiliki.

Kesimpulannya, hendaknya pihak bank yang melakukan usaha investasif berperan sebagai pengelola di hadapan para nasa-bah yang menitipkan dana kepada mereka. Sementara ben-tuk hubungannya dengan para pengelola modal tergantung pada kon-disi. Bisa jadi ia akan menjadi sesama pemilik modal atau sebagai mitra usaha mengelola modal, sebagai penjual atau sebagai pemberi pinjaman, tergantung dengan karakter perjanjian usaha yang mengikat kedua belah pihak.

Bentuk kerja sama ini diikat dengan beberapa kaidah be-rikut:

* Tidak adanya tanggungjawab pihak pengelola modal terhadap usaha investatif ini kecuali karena faktor keteledoran atau faktor pelanggaran. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara usaha investatif melalui jasa perbankan atau usaha-usaha inves-tatif lainnya.

* Masalah pertanggungjawaban di berbagai bank-bank Islam tidak akan dapat diselesaikan selain dengan membangun keimanan yang bisa mengarahkan orang untuk tetap konsekuen menjaga keseimbangan kehidupan manusia. Kemudian ditambah dengan memberikan perhatian maksimal dalam mempelajari berbagai sistem pengembangan modal yang digeluti oleh berbagai bank Islam dengan tetap memantau sistematika sub diskripsi dan letak geografis berbagai proyek tujuan serta berbagai bentuk hubungan lazim lainnya yang dikenal orang sebagai berada di bawah pertanggungjawaban pihak bank.

* Tidak perlu memperhatikan upaya yang dilakukan kalangan kontemporer yang memaksa pihak bank bertanggungjawab dalam transaksi ini. Itu disebabkan lemahnya dasar-dasar ilmu fiqih mereka ketika mengemukakan berbagai upaya tersebut. Belum lagi bahwa upaya mereka itu bertentangan dengan ijma" Ahli Fiqih.

* Tidak boleh menetapkan prosentase tertentu dari modal yang ada dalam sebuah usaha investasif. Kalau ketetapan itu diambil, maka perjanjian dianggap batal.

* Dibolehkan membagikan keuntungan pada setengah pu-taran dengan terus menjalankan usaha. Bisa jadi keuntungan itu akan bersifat permanen, kalau masing-masing dari putaran itu dianggap sebagai perjanjian tersendiri dengan kalkulasi dan pen-danaan tersendiri pula. Kemudian bila investor mau menarik modalnya dibolehkan, dan dibolehkan juga untuk dikembangkan kembali dengan perjanjian baru.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana yang dititip-kan secara keseluruhan meskipun sebagian dari dana kadang tidak tergunakan secara langsung dalam pengelolaan modal. Karena hak dalam perjanjian kerja sama tergantung pada perjanjiannya, bukan pada modalnya. Jadi tidak tergantung pada penggunaan dana, namun disesuaikan dengan kesepakatan untuk mengkhu-suskan penggunaan dana tersebut dalam kepentingan syirkah.

* Kerja tahunan perbankan itu hendaknya dibagi menjadi beberapa masa putaran yang saling beruntun. Masing-masing masa putaran membentuk sebuah usaha investatif tersendiri dengan kalkulasi keuntungan dan kerugian tersendiri. Pihak bank hendaknya memperbanyak masa putaran itu agar semakin ba-nyak kesempatan bertubi-tubi para pengelola modal yang terbuka di depan mata mereka untuk mengembangkan dana mereka, sehingga bisa ikut andil dalam proyek mana saja yang mereka kehendaki. Tanpa mereka harus beralih kepada bentuk usaha investatif lain setelah memulai bekerjasama dengan proyek tersebut, atau terpaksa menunggu lama tanpa ada proses pengem-bangan modal yang diinginkan.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana titipan de-ngan cara yang lazim. Kalau masing-masing dana yang ada jumlahnya itu jumlahnya sama maka tentu keuntungan dibagikan dengan sama rata. Kalau tidak sama, dibagikan secara prosentasif berdasarkan jumlah dana masing-masing. Sehingga tidak perlu lagi mengadopsi aturan "siapa kuat siapa menang" seperti adopsi yang dilakukan berbagai bank Islam dari berbagai bank berbasis riba, untuk menyelesaikan problematika dana-dana yang tidak seimbang waktu penarikannya. Karena dengan sistem pemutaran dana itu batas penarikan dana nasabah menjadi satu.

Akhirnya, sistem usaha investatif dengan ilmu dan keya-kinan dalam memahami hukum-hukumnya dapat memuaskan kebutuhan usaha-usaha perbankkan dengan segala macam cabang-cabang dan pihak yang terkait serta intensitas kerjanya yang nyaris tidak pernah berhenti.

Kiat Memfungsikan Sistem Investasi Kolektif Secara Umum

Berbagai bank Islam telah banyak memberikan manfaat melalui sistem perjanjian usaha semacam ini. Oleh sebab itu, se-baiknya perusahan-perusahaan pengembangan modal Islam juga berperan serta memfungsikannya. Misalnya dengan menerima titipan dana dari para investor dengan perhitungan mereka seba-gai pemilik dana, kemudian menghidupkan dana-dana tersebut dalam berbagai proyek pengembangan dana di sektor pertanian, perindustrian dan perniagaan, dengan berfungsi sebagai penge-lola atau mitra pengelola. Bila Allah memberikan rezeki keun-tungan kepada mereka, dibagi-bagi di antara mereka dengan para pemilik modal berdasarkan kesepakatan. Ini yang disebut sebagai pengembangan dana langsung.

Pihak perusahaan juga bisa mengulang kembali usaha investatif ini dengan dana yang ada dengan menyerahkannya kepada orang-orang yang memiliki skill dan kemampuan menge-lola proyek-proyek tertentu, akan tetapi mereka membutuhkan modal untuk mendanani semua proyek mereka. Dengan cara itu, karakter perusahaan ini menjadi ganda.

Di hadapan para penitip modal pertama, perusahaan ini berperan sebagai pengelola dana atau mitra usaha investatif.

Sementara di hadapan orang-orang yang qualified yang me-reka serahkan dana untuk diputar, mereka berperan sebagai pemilik modal atau sebagai orang yang diberi hak kuasa, bila terjadi kesepakatan di atas akad wikalah ma’jurah (pemegang kuasa yang di upah) investor untuk membayar mereka sebagai peme-gang hak kuasa dana.

Pemikiran inilah yang menjadi batu pertama dalam mem-bangun berbagai bank Islam modern, sebagaimana telah dijelas-kan sebelumnya.

Cara Pembagian Keuntungan Terhadap Dana yang Ber-beda-beda Waktu Penggunaannya Sebagai Modal Usaha

Sehubungan dengan pengelolaan dana kolektif ada proble-matika dalam sistem pembagian keuntungan terhadap dana-dana yang berbeda-beda waktu penggunaannya sebagai modal usaha. Karena usaha tersebut dilakukan dengan mencampurkan aku-mulasi dana yang masuk secara beruntun, yang dana-dana itu tidak terkumpulkan secara bersamaan pada awal usaha. Untuk menyelesaikan problematika ini, bisa dilakukan dengan salah satu dari dua cara:

* Pertama: Dengan sistem beberapa kali masa pemutaran dana, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

* Kedua: Dilakukan hukum rimba, yakni dengan cara memberikan keuntungan pada dana-dana itu sesuai dengan masa mendekamnya dana-dana itu untuk digunakan sebagai modal usaha pengembangan dana. Uang titipan yang mendekam selama setahun misalnya, bisa memperolah keuntungan sempurna. Se-mentara yang hanya mendekam setengah tahun, mendapatkan setengah keuntungan. Dan yang mendekam selama tiga bulan, hanya mendapatkan seperempat keuntungan. Demikian seterusnya.


Di antara yang layak diingat sehubungan dengan peraturan terakhir ini, bahwa sistem ini masih diperdebatkan, karena me-ngandung unsur manipulasi. Karena bisa jadi uang yang datang belakangan itu berfungsi menutup kerugian, atau memperoleh keuntungan dari fase di mana dana itu belum berfungsi sebagai modal.

Beberapa Catatan Untuk Diingat

Ketika mencanangkan sebuah usaha pengembangan modal kolektif berdasarkan perjanjian usaha seperti di atas, harus meng-hindari beberapa hal berikut:

* Menetapkan keuntungan dengan prosentase yang tetap dari modal yang ada, atau jumlah mati. Hal itu berdasarkan ijma" ulama persyaratan atau ketetapan itu adalah batil.

* Meminta pertanggungjawaban pengelola tanpa adanya keteledoran atau pelanggaran. Itu juga berdasarkan ijma" posisi pengelola dana terhadap dana yang dikelolanya, seperti posisi orang yang dititipkan amanah. Ia tidak bertanggung jawab menggantinya kecuali bila melakukan keteledoran atau pelanggaran.


Satu hal lagi yang perlu diingatkan, bahwa berbagai upaya yang bermacam-macam telah dilakukan pada masa sekarang ini untuk melegalisasikan dua hal terlarang di atas. Semua upaya tersebut tak lepas dari cacat. Upaya untuk mencari keringanan pada dua hal ini atau pada salah satu di antaranya bisa meng-alihkan perjanjian tersebut dari bentuk usaha investatif, kepada bentuk simpan pinjam. Sementara kelebihan yang diperoleh teralihkan dari lingkaran keuntungan kepada bentuk riba yang diharamkan, sehingga menghancurkan persyaratan perjanjian ini dari dasarnya.

KESIMPULAN:

Hukum-hukum Tentang Syarikat

Syirkah dalam terminologi Ahli Fiqih berarti aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah disyariatkan menu-rut ijma" para ulama kaum muslimin.

Syirkah ada dua macam: Syirkah kepemilikan dan syirkah transaksional.

Sementara syirkah transaksional terbagi menjadi: Syirkah "inan, syirkah abdan (usaha), syirkah wujuh (prestigal), syirkah mufa-wadhah (komprehensif) dan syirkah mudharabah (usaha investatif).

Syirkah "inan adalah aliansi dalam modal, usaha dan keun-tungan. Syirkah seperti ini secara konsensus dibolehkan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat pada beberapa bentuk aplikasinya.

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:

1. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi berak-tivitas. Boleh dilakukan bersama non muslim, asal dia tidak dibi-arkan mengoperasikan modal sendirian, karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.

2. Objek transaksi, yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan di kalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui prosentasenya. Harus me-rupakan bentuk prosentase yang umum. Kalau ada bagian yang diperuntukkan secara khusus bagi salah satu pihak tanpa melalui proses pemutaran dana, perjanjian tersebut rusak.

3. Pelafalan perjanjian. Yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan dengan segala cara yang dapat mengindi-kasikan kearah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan maupun tindakan.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan bahwa keuntungan itu harus berdasarkan jumlah modal. Bisa saja di dibeda-bedakan. Karena keuntungan itu bisa didapat berdasarkan modal, bisa juga berdasarkan usaha. Sementara usaha yang dilakukan masing-masing pihak berbeda-beda.

Asal dari syirkah ini adalah dibolehkan. Syirkah itu berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Namun syirkah itu secara otomatis berlangsung dengan berjalannya usaha, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Itu terus berlangung sampai hingga modal habis diputar dan kembali menjadi uang kontan seperti sebelumnya. syirkah juga berakhir dengan meninggalnya salah seorang transaktor, karena dia gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Namun syirkah tidak menjadi batal dengan habisnya salah satu dari dua modal yang ada setelah keduanya dicampurkan. Namun kalau harta itu hangus sebelum dicampurkan, berarti syirkah batal.

Di antara bentuk aplikasi bentuk usaha syirkah dalam berba-gai bentuk pengembangan modal kolektif adalah syirkah permanen, syirkah berdasarkan proyek tertentu dan syirkah non permanen yang pada akhirnya menjadi hak milik penuh pengelola.

Syirkatul Abdan (Syirkah Usaha)

Yakni aliansi dua pihak atau lebih dalam segala usaha yang dilakukan oleh tangan mereka, seperti kerjasama yang dilakukan oleh para ahli keterampilan usaha dan sejenisnya. Mayoritas ulama membolehkan syirkah semacam itu. Namun Imam Syafi"i melarangnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya kesamaan usaha dalam syirkah ini. Kalangan Malikiyah dan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka memberla-kukan syarat itu. Namun kalangan Hanafiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam riwayat lain menentang pendapat itu.

Keuntungan dalam syirkah semacam ini berdasarkan kesepa-katan orang-orang yang beraliansi di dalamnya, disamakan atau dibeda-bedakan. Dasar aliansi para transaktor dalam keuntungan pada syirkah ini adalah jaminan masing-masing kepada yang lain. Maka seluruh orang yang terlibat kerjasama dalam syirkah ini berada dalam satu hak. Setiap usaha yang dilakukan oleh salah seorang di antara mereka adalah di bawah jaminan pihak lain.

syirkah ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian, atau karena dia meninggal dunia, gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Syirkatul Wujuh (Syirkah Prestigal)

Yakni aliansi yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli barang dagangan dengan modal nama baik mereka secara berhutang, lalu bila ada keuntungan dibagi secara bersama.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini. Kalangan Hanafiyah membolehkannya demikian juga kalangan Hambaliyah. Namun kalangan Syafi"iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuknya.

Syirkatul Mufawadhah

Yakni syirkah di mana seluruh yang terlibat dalam syirkah ini memiliki kesamaan modal, aktivitas dan bahkan hutang piutang dari awal syirkah hingga akhir. Ini merupakan bentuk kerja sama komprehensif di mana seluruh pihak bersepakat untuk bersekutu dalam segala sesuatu. Bahkan masing-masing menyerahkan kepa-da pihak lain untuk melakukan segala bentuk aktivitas yang wajib dilakukan pihak lain.

Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang disyariat-kannya syirkah ini. Mayoritas ulama membolehkannya, namun kembali Imam Syafi"i 5 melarangnya.

Alasan yang diambil oleh Imam Syafi"i untuk melarangnya adalah bahwa karena syirkah ini mengandung unsur penjaminan terhadap yang tidak diketahui dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya adalah perjanjian rusak, bila ditinjau secara terpisah, bagaimana lagi bila keduanya dilakukan secara bersamaan?

Alasan beliau itu dibantah dengan pernyataan bahwa keti-daktahuan tersebut karena terjadi sebagai konsekuensi logis. Satu tindakan terkadang dianggap tidak sah kalau dijadikan tujuan, tetapi diangap sah bila hanya sebagai konsekuensi.

Sementara kalangan Hambaliyah menetapkan syarat dibo-lehkannya syirkah ini bila tidak dimasukkan ke dalamnya usaha sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan, ber-arti kerja sama batal, karena mengandung unsur penipuan.

Adapun kalangan Hanafiyah memberikan persyaratan ada-nya kesamaan dalam modal, usaha dan keuntungan serta hutang piutang. Pada umumnya syirkah ini dilakukan dalam berbagai bentuk perniagaan, harus diimplementasikan melalui pelafalan sebagai syirkah Mufawadhah. Kalau syarat-syarat atau sebagai syarat-syarat Syirkah Mufawadhah ini tidak terpenuhi, maka menurut para ulama, syirkah ini berubah menjadi Syirkah "Inan.

Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa tanggungan kerugian selalu identik dengan jumlah modal dalam segala bentuk syirkah. Namun dalam soal keuntungan, mereka berbeda pendapat apakah harus disesuaikan dengan jumlah modal atau berdasarkan kesepakatan, harus disamakan atau dibeda-bedakan.

Syirkatul Mudharabah (Kerjasama Usaha Investatif)

Mudharabah adalah penyerahkan modal kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pedagang itu. Kerja sama ini dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin.

Rukun-rukun kerja sama ini ada tiga: Dua pihak transaktor, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Dua transaktor seperti biasa disyaratkan harus memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh saja bekerja sama dengan non muslim, dengan syarat harus terus dimonitor pengelolaan dana-nya agar tetap terjaga kehalalannya.

Sementara objek transaksi disyaratkan harus berupa alat tukar –emas, perak dan uang--. Dibolehkan menanamkan modal dengan hutang yang berada di tangan orang yang mampu memba-yarnya dan tentu saja mengakui bahwa dirinya memang berhutang, menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. Dibolehkan juga menanamkan modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang titipan tersebut sudah dibelanjakan, sehingga hukumnya menjadi modal berupa hutang. Investor juga bisa menambahkan dana segar pada modal yang ada, namun harus ditinjau sebagai modal terpisah dengan keuntungan dan kerugian tersendiri. Boleh juga menarik sebagian modal, yang berarti transaksi terhadap modal yang sudah ditarik menjadi batal. Namun hak investor terhadap modal yang tersisa tetap ada. Ketika terjadi kerugian, kerugian itu bagi-bagikan pada modal yang sudah tertarik dan yang tersisa.

Sementara dalam usaha investasi ini disyaratkan hendaknya modal diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Ka-langan Hambaliyah membolehkan penyerahan modal itu kepada para industriawan dalam bentuk alat-alat produksi dengan meng-ambil keuntungan dari sebagian hasilnya, dikiyaskan atau diana-logikan dengan muzara"ah (usaha investatif pertanian) dan musaqat (usaha penyiraman perkebunan). Pengelola modal tidak dibo-lehkan mengembangkan modal dengan menjual barang-barang haram, para ulama bersepakat dalam hal ini. Boleh juga mela-kukan usaha investasif dengan kriteria tertentu, selama kriteria tersebut berguna dan dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Memberi batasan waktu pada usaha ini juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang benar, sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Pengelola juga bisa menyewa orang untuk melaksanakan berbagai tugas pengelolaan yang memang tidak harus dikerjakanannya sendiri menurut kebiasaan. Bahkan pengelola bisa melakukan usaha investasi lain dengan pengelola lain menggunakan modal yang sama, kalau ia diizinkan oleh pemilik modal atau diberikan hak penuh untuk mengelola modal-nya sesuka hati. Pengelola juga bisa menggunakan modal tersebut untuk mengajak kerja sama pengelola lain. Namun pengelola tidak dibolehkan untuk berhutang dalam melakukan usaha, kecuali bila diizinkan oleh investor, karena tindakan itu menambah tanggung jawab pada diri investor tanpa keridhaannya. Kalau itu dilakukan, berarti jual beli itu menjadi jual beli pengelola sendiri, dan ia menjadi mitra investor, selama itu tidak mengganggu akti-vitas pengelolaan modalnya bersama investor.

Keuntungan usaha investatif ini harus diketahui secara jelas, harus berupa prosentase yang umum. Kalau salah seorang diten-tukan mendapatkan bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian itu batal.

Sehubungan dengan keuntungan dalam usaha investatif ini, pembagiannya harus memenuhi beberapa kode etik berikut:

Keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sementara kerugian hanya ditanggung oleh investor saja.

Keuntungan dalam usaha investatif juga sebagai cadangan modal. Pengelola tidak mendapatkan keuntungan sebelum ia me-nerima kembali modal secara utuh. Pengelola hanya bisa mengambil keuntungan melalui pem-bagian.

Hak kepemilikan keuntungan hanya menjadi permanen bagi masing-masing pihak setelah dilakukan perhitungan akhir, baik secara aplikatif maupun kalkulatif.

Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun nan-tinya dihitung pada perhitungan akhir.

Pengelola boleh mengambil bagian dari uang modal sebagai biaya perjalanannya melakukan bisnis, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang.

Tidak ada pertanggungjawaban bagi pengelola dalam perjan-jian ini selain karena keteledoran atau pelanggaran. Tidak perlu diperhatikan adanya berbagai trik kamuflase untuk membatalkan dasar hukum ini.

Perjanjian usaha investatif ini berakhir dengan mening-galnya salah satu transaktor atau karena dia gila, atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang. Bisa juga karena pembatalan salah satu pihak, hanya saja usaha itu tetap berlangsung bila telah di-mulai menurut pendapat yang benar dari para ulama, hingga habisnya modal diputar, demi menghindari bahaya akibat pemu-tusan hubungan usaha yang tiba-tiba.

Dibolehkan mengambil keuntungan usaha ini dalam ling-kungan perbankan dengan cara memberikan modal kepada pihak lain untuk diputar atau dengan cara lain. Demikian juga dalam lingkungan pengembangan modal kolektif lain secara umum.

Sumber : Alsofwah.or.id

Sistem Murabahah

Sabtu, 14 April 2007 - 03:10:33, Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Kategori : Kajian Utama
Sistem Murabahah

Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan, praktik ini dan yang sejenis –seperti leasing- pun tak lepas dari jerat riba.

Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli.
Transaksi ini ada 3 jenis:
1. Murabahah
Gambarannya adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.
2. Wadhi’ah
Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-
3. Tauliyah
Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.
Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
3. Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.
4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.
5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke took dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci:
- bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
- bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun. (Syarhul Buyu’, hal. 90-92)
Wallahu a’lam bish-shawab.