Rabu, 15/10/2008 19:01 WIB
Dampak Krisis Global, dari Wall Street ke Mangga Dua
Wahyu Daniel - detikFinance
Foto: Reuters
Jakarta - Krisis keuangan di AS yang berimbas pada ketatnya likuiditas di pasar akan membuat perusahaan di Indonesia sulit untuk melakukan ekspansi usahanya.
Ini dikarenakan sulitnya mencari pendanaan baik melalui IPO atau menjual obligasi lewat pasar, bahkan kredit perbankan pun saat ini suku bunganya sudah cukup tinggi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan Raden Pardede dalam seminar "Krisis Keuangan di AS: Dampaknya Bagi Ekonomi Dunia, Bisnis dan Indonesia" di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (15/10/2008).
Dengan krisis yang terjadi likuiditas ketat, apalagi rencana bailout US$ 700 miliar oleh pemerintah AS akan membuat dana-dana di emerging market beralih kepada treasury bills, ini menyebabkan pasar saham Indonesia drop dan harga obligasi pemerintah naik.
"Akhirnya perusahaan-perusahaan kita akan sulit menerbitkan bond atau melakukan IPO karena tidak ada likuiditas, jadi forget about bond dan IPO pada saat ini," tuturnya.
Raden mengatakan krisis sektor keuangan di AS lambat laun memang akan terasa imbasnya kepada sektor riil terutama terhambatnya ekspansi usaha perusahaan karena likuiditas yang ketat.
Bahkan Raden memberikan judul pada makalahnya mengenai gejala tersebut yaitu "From Wall Street to Mango Two (Mangga Dua)" yang menggambarkan bagaimana krisis ini akan berpengaruh terhadap sektor riil.
"Memang sangat ironis, di saat krisis muncul di AS justru banyak dana saat ini bahkan dari emerging market yang beralih kepada treasury bills yang mengakibatkan treasury bills naik dan cost of fund kita naik. Apalagi karena hancurnya kredit akibat subprime mortgage memunculkan ketidakpercayaan bank untuk mengucurkan kredit. Hal ini menyebabkan investor beralih kepada money market dan treasury bills," paparnya.
Semua hal ini dikatakan Raden membuat yield (imbal hasil) SUN pemerintah naik drastis di pasar, dan tentu saja perusahaan tidak bisa mencari dana lewat obligasi karena pasti harganya mahal.
"Namun dengan berbagai kebijakan pelonggaran likuiditas yang dikeluarkan oleh pemerintah dan BI diharapkan bisa memecahkan masalah yang terjadi, tapi bukan berarti masalah selesai, saya bukan menakut-nakuti. Oleh karena itu fiskal harus siap melakukan counter cyclical," katanya.(dnl/ddn)
ekonomi
Ketua MPR:
Hadapi Krisis, Belajar pada Timur Tengah
Sabtu, 18 Oktober 2008 - 15:17 wib
Rus Akbar - Okezone
PADANG - Pemerintah disarankan belajar pada negara-negara di Timur Tengah dalam menghadapi krisis keuangan yang terjadi saat ini.
Saran itu dicetuskan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nurwahid, usai silaturahmi dengan kader Partai Keadilan Sejatera di Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang, Sumatra Barat, Sabtu ((18/10/2008).
Kata Hidayat, di tengah krisis yang melanda berbagai negara di belahan dunia, negeri-negeri di Timur Tengah malah mendapatkan keuntungan berlipat.
"Ada salah satu cara, yaitu belajar pada Timur Tengah yang tidak terkena dampak krisis ekonomi Amerika, dengan sistem ekonominya berbasis syariah," cetus Hidayat yang merupakan doktor lulusan Madinah, Arab Saudi.
"Kita perlu menjalin komunikasi mengenai bagaimana sistem ekonomi syariah yang mereka terapkan, sehingga kita bisa juga mendapatkan investasi yang lebih besar," paparnya.
Pemerintah juga disarankan menjalin komunikasi dengan Eropa, karena saat ini negara-negara di belahan dunia itu tengah berupaya meninggalkan sistem ekonomi yang lama dan beralih pada sistem ekonomi yang baru.
Untuk diketahui, dalam pertemuan di Brussel, Belgia, Rabu 15 Oktober lalu, para pemimpin Eropa mencetuskan sistem ekonomi baru pengganti sistem Bretton Woods yang dibuat pada masa Perang Dunia II. Sistem Bretton Woods merupakan cikal bakal kelahiran Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
"Dengan momentum ini, negara kita memanfaatkan kesempatan untuk membuat sistem ekonomi yang baru yang tak kalah bagusnya dengan ekonomi AS yang hegemonik dan arogan, yang berdampak pada krisis ekonomi dunia yang besar," papar alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, ini.
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini berharap Indonesia tidak menjadi korban yang parah dari krisis yang terjadi saat ini. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah operasional untuk meyakinkan publik, bahwa kita memiliki sistem ekonomi yang kuat. (jri)
Tanggapan :
Krisis global yang melanda seluruh dunia sekarang ini yang disebabkan oleh adanya Subprime Mortgage crissis di Amerika memang telah banyak memengaruhi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Seperti yang tertulis dalam artikel pertama, krisis memang telah banyak menyebabkan sektor moneter dan masalah pengetatan likuiditas perkreditan Indonesia menjadi terasa berat. Memang kita harus waspada akan dampak yang mungkin lebih buruk lagi karena masalah tersebut, akan tetapi jangan terlalu mengambil spekulasi seakan-akan langit akan runtuh yang membuat kegelisahan masyarakat semakin bertambah akan ketidak-pastian yang terjadi sehingga masyarakat akan benar-benar beralih kedalam treassury bills & market money yang akibatnya masyarakat menjadi lebih konservatif dan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap terhadap pasar modal seperti yang Raden Pardede katakan kepada Publik. Apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah tentang pengetatan kredit memang terasa berat dan semakin memahalkan cost of fund bagi pengusaha dan menurut pardede hal tersebut bisa membuat kehancuran sektor rill pula. Akan tetapi, sektor rill perekonomian di Indonesia yang dikuasai UKM sebesar 59% tidaklah akan cepat terkena dampaknya oleh karena sektor UKM lebih mempunyai daya tahan kuat daripada perusahaan besar yang sudah Go Publik dan itu sudah terbukti di dalam krisis moneter 1998 lalu yaitu dimana UKM & Koperasi mampu bertahan dan berkembang pesat 99,9% ditengah krisis. Oleh karena itu, kekhawatiran tersebut bukanlah suatu spekulasi yang kuat dan tidak perlu dijadikan suatu alasan ketakutan akan apa yang terjadi besok akan tetapi jadikanlah hal tersebut sebagai suatu stimulus bagi semua kepentingan untuk mencari solusinya bukan untuk menjadi lebih protektif konservatif terhadap probabilitas ketidak-pastian di masa yang akan datang. Naiknya BI Rate sebesar 25 basis poin tidaklah semata-mata untuk memberatkan kreditor akan tetapi lebih di maksudkan untuk memperbaiki sektor moneter dan rill kita yang sudah terlanjur carut-marut di landa krisis.
Sistem perekonomian Indonesia seperti apa yang di kemukakan oleh Hidaya Nurwahid pada artikel kedua memang suatu solusi yang patut kita jadikan bahan pertimbangan akan tetapi alangkah baiknya tidak kita hanya merombak sistemnya saja akan tetapi mekanisme dari perekonomiannya juga harus kita telaah lebih dalam. Apabila kita lihat dari potensi alam agraris kita yang subur & kaya akan hasil SDA terutama pertanian & perkebunanan, mestinya kita sadar bahwa itulah keunggulan kita dalam perekonomian kita. Sejarah telah membuktikan bahwa dari sektor agraris itulah kita pernah mencapai kemakmuran bangsa, dan apabila kita lihat bahwa krisis pangan dan raw material dunia yang sekarang melanda merupakan prospek cerah bagi Indonesia untuk memenuhi demand dari masalah diatas. Tentu negara Arab punya keunggulan SDA (minyak) yang berbeda dengan Indonesia(Pertanian&perkebunan), apabila dibandingkan, Indonesia bisa lebih unggul karena mempunyai SDA primer yang dapat diperbaharui. Ini bukanlah suatu konsep, akan tetapi merupakan suatu solusi bangsa dan jatidirinya bahwa negara ini adalah negara agraris yang kaya akan potensinya. Kalau kita terus fokus dalam industri manufaktur otomotif, elektronik, mekanisme pasar,dll misalnya jelas kita akan kalah dalam hal nama maupun teknologinya dengan bangsa lain. oleh karena itu, yang kita perlukan ialah spesialisasi dalam gerakan hijau. Kita patut belajar dari bangsa Arab, akan tetapi kita juga patut belajar dari bangsa Vietnam, Kamboja, Selandia Baru, dan negara Agraris lainnya yang mampu mengenal jatidiri bangsa mereka dan mampu mengelolanya menjadi suatu potensi prospektif yang berbasis agraris.
artikel krisis global 2008
Diposting oleh
Riandasa Anugerah Febrian
on Jumat, 09 Oktober 2009
Label:
krisis global,
subprime mortgage
0 komentar:
Posting Komentar