Krisis Global yang terjadi ahhir - akhir ini tidaklah lain merupakan suatu efek multiplier dari subprime mortgage yang gagal di Amerika Serikat dan menjadi sebuah alur yang dramatis akan sebuah perubahan dari iklim ekonomi dunia. Semua kejadian ekonomi yang luar biasa terjadi dalam sebuah rentetan krisis yang membuat semua pihak yang terlibat untuk kembali berfikir dan menelaah sisi fundamental ekonomi yang telah menjadi dasar kebijakan ekonomi selama ini. Dalam hal ini, krisis yang terjadi berawal dari sebuah krisis finansial pada akhirnya berbuntut pada semua aspek ekonomi bahkan sosial dan Indonesia pun tidak lepas dari rentetan efek krisis tersebut.
Teori klasik mendeskripsikan bahwa Pasar yang bebas, spesialisasi dengan tidak adanya campur tangan pemerintah (Libelarisasi) merupakan formula yang baik bagi peningkatan GNP dan NNP yang berasal dari semua sektor akan tetapi hal tersebut kenyataannya malah membuat pasar semakin liar dan tidak rasional. Di Indonesia sendiri, krisis tersebut membuat inflasi yang cukup terasa dan hal tersebut terjadi pula di semua negara selain Indonesia. Secara psikologis, keadaan seperti ini justru membuat ketidakpastian di semua kalangan ekonomi tentang apa yang akan terjadi di masa depan termasuk masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia. Sentimen negatif yang terjadi di dalam sektor finansial Indonesia membawa dampak yang cukup berat akibat dari pengaruh anjloknya saham wall street tersebut. Hal itu disebabkan adanya kegagalan akuntabilitas dan kekhawatiran akan insolvency dalam pasar sehingga pasar memberikan sentimen negatif dan lebih memilih konservatif sehingga banyak terjadi pula transaksi yang bersifat tidak rasional, keadaan tersebut mempengaruhi pula terhadap sektor finansial diindonesia. Anjloknya saham membuat semua perusahaan yang tecantum di pasar modal kekurangan likuiditas modal karena sentimen pasar yang serentak menjual sahamnya dan terjadilah seperti yang disebutkan diatas yaitu tidak rasionalnya transaksi dalam pasar saham karena setiap broker menjadi saling ketergantungan satu sama lain. Jatuhnya harga saham membuat kesediaan modal semakin mahal selain itu, Bank Indonesia pun menaikan suku bunganya menjadi 9,75% dan membuat biaya produksi pun menjadi naik sehingga membuat sebagian biaya dan harga hasil produk yang meningkat dan hal tersebut memicu adanya inflasi dalam negeri yang membuat daya beli masyarakat berkurang karena harga mengalami yang kenaikan. Selain itu, perusahaan pun berusaha menutupi biaya yang terlalu mahal tersebut yaitu salah satunya dengan perampingan tenaga kerja dalam perusahaan sehingga jumlah pengangguran pun semakin meningkat dan fenomena tersebut mulai dirasakan efeknya pada sektor rill dan masyarakat langsung.
Pasar yang terlalu bebas seperti yang dikatakan oleh teori klasik membuat seorang ahli ekonomi asal inggris yang bernama John Maynard Keynes membuat asumsi dan teori baru bahwa sesungguhnya perekonomian itu perlu adanya suatu intervensi pemerintah guna adanya internal dan eksternal kontrol yang diciptakan melalui kebijakan pemerintah dan tidak menuntut adanya suatu spesialisasi. Di Indonesia sendiri, hal tersebut memang sudah diterapkan akan tetapi belum murni sepenuhnya berjalan karena tuntuntan globalisasi dan free trade yang mempengaruhi segala kebijakan pemerintah terutama dalam hal penanaman modal asing. Hal lain yang dari krisis tersebut adalah eksportir di Indonesia mulai merasakan dampaknya setelah beberapa waktu pasca krisis karena permintaan bahan baku oleh negara importir menurun drastis karena krisis yang melanda, terutama Amerika yang merupakan pengimpor bahan baku nomor 1 dari Indonesia sehingga memaksa eksportir dalam negeri harus banting setir ke negara lain yang masih potensial. Akan tetapi, ditengah krisis yang melanda di Indonesia nilai mata uang dollar Amerika malah semakin menguat karena sentimen pasar uang yang masih ragu melakukan transaksi karena spekulasi yang masih buram sehingga pasar lebih bersifat konservatif dan permintaan dollar pun semakin kuat terutama oleh pihak pemerintah dan perusahaan swasta yang memerlukan dollar untuk membayar utang luar negerinya. Kontan, nilai impor pun naik dan hal tersebut sekali lagi membuat daya beli masyarakat turun sehingga rentan akan inflasi.
Penyelesaian krisis tersebut membutuhkan suatu solusi bijak yang ter-integritas semua masyarakat dunia agar tidak adanya kebijakan yang dinilai baik untuk dalam negeri akan tetapi merugikan bagi pihak lain.
TEORI DAN REALITA DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA
Diposting oleh
Riandasa Anugerah Febrian
on Jumat, 09 Oktober 2009
Label:
krisis global,
realita,
subprime mortgage
0 komentar:
Posting Komentar